Aborsi, Patriarki, dan Pilihan Perempuan dalam Keadilan Reproduksi

Ditulis oleh Ghera Imroatusshalihah, Pemenang Lomba Menulis Keadilan Reproduksi Yayasan IPAS Indonesia.


Kebijakan mengenai aborsi bagi korban kekerasan seksual di Indonesia seolah menjadi angin segar dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan. Regulasi ini memberikan pengecualian bagi korban pemerkosaan dan tindak kekerasan seksual lainnya untuk melakukan aborsi dengan batas kehamilan tidak melebihi 14 minggu. Namun, di realitas sosial, implementasi kebijakan ini masih jauh dari kata ideal. Banyak perempuan yang tidak memahami hak reproduksi mereka, terutama dalam konteks aborsi. Hak yang seharusnya memberi mereka kendali atas tubuhnya sendiri justru kerap dikaburkan oleh bayang-bayang patriarki, mitos, dan stigma sosial yang mengekang.


Kendala utama yang dihadapi perempuan dalam menuntut hak reproduksi mereka adalah dominasi patriarki yang telah mengakar kuat dalam budaya dan sistem sosial. Patriarki ini sering kali didukung oleh mitos-mitos yang diwariskan turun-temurun. Salah satu mitos yang paling merugikan adalah anggapan bahwa setiap perempuan memiliki naluri keibuan yang melekat secara alami. Pandangan ini kemudian digunakan untuk menghakimi perempuan yang memilih aborsi, seolah mereka mengingkari kodratnya sebagai ibu. Padahal, keputusan untuk melakukan aborsi bagi korban kekerasan seksual bukanlah semata-mata soal menghindari tanggung jawab, melainkan upaya untuk menyelamatkan diri dari trauma berlapis yang harus mereka tanggung.


Selain itu, tekanan dari keluarga dan masyarakat juga menjadi faktor yang membuat perempuan sulit memperjuangkan hak reproduksinya. Banyak korban kekerasan seksual yang justru dipaksa menikah dengan pelaku sebagai bentuk “pertanggungjawaban.” Pernikahan ini sering kali dilakukan tanpa mempertimbangkan kesiapan mental dan fisik korban, yang akhirnya memperpanjang penderitaan mereka. Seperti yang diungkapkan Ester Lianawati dalam bukunya Akhir Pejantanan Dunia, perempuan sering direpresentasikan sebagai objek pasif sekadar vas kosong atau lahan yang siap digarap tanpa memiliki kendali atas tubuh dan kehidupannya sendiri.


Realitas ketidakadilan reproduksi ini dapat dilihat dari kisah seorang perempuan yang saya kenal dekat. Korban kekerasan seksual ini, yang masih berusia 17 tahun, dipaksa menikah karena tekanan keluarga dan masyarakat. Pernikahan yang seharusnya menjadi solusi justru menjadi awal penderitaan baru. Suaminya tidak mau bekerja dan hanya bergantung pada orang tua, sementara korban harus mencari nafkah demi menghidupi anaknya. Beban yang terlalu berat membuatnya harus merantau untuk bekerja, hingga akhirnya mengalami kecelakaan yang menyebabkan kakinya patah. Tanpa biaya untuk berobat, ia harus menghabiskan sisa hidupnya terbaring di kasur, sementara masyarakat tetap menghakiminya. Ironisnya, perempuan di Indonesia masih merasa malu membeli kontrasepsi, tetapi di saat yang sama tidak diberikan pilihan yang adil dalam mengatur tubuh mereka sendiri.


Mengingat begitu kompleksnya persoalan ini, keadilan reproduksi seharusnya dimulai dari lingkungan yang paling dasar: keluarga. Pendidikan seksual yang komprehensif harus ditanamkan sejak dini agar perempuan dapat memahami hak-hak mereka dan memiliki kesadaran kolektif untuk melawan stigma yang ada. Masyarakat juga perlu mengubah perspektif mereka terhadap isu reproduksi, dengan tidak lagi menganggapnya sebagai hal tabu, melainkan sebagai bagian dari hak asasi manusia yang fundamental.


Keadilan reproduksi bagi perempuan bukan hanya tentang akses terhadap layanan kesehatan reproduksi, tetapi juga tentang memberikan pilihan yang sepenuhnya berada di tangan perempuan itu sendiri. Tidak ada perempuan yang seharusnya dipaksa menerima keputusan yang tidak dikehendakinya, terutama ketika hal tersebut berakar dari kekerasan yang mereka alami. Oleh karena itu, negara dan masyarakat memiliki tanggung jawab untuk menyediakan layanan pemulihan yang mencakup rehabilitasi sosial, pemberdayaan ekonomi, serta reintegrasi sosial bagi korban kekerasan seksual. Dengan begitu, mereka dapat membuat keputusan yang jernih dan berdaya atas tubuh serta kehidupannya sendiri.


Jika keadilan reproduksi terus diabaikan, perempuan akan semakin tersingkirkan, tidak hanya dalam ranah sosial, tetapi juga dalam keputusan atas tubuh dan masa depan mereka sendiri. Masyarakat harus berhenti melihat hak reproduksi sebagai persoalan moral semata dan mulai memahami bahwa ini adalah soal keadilan dan kemanusiaan. Dengan memberikan perempuan pilihan yang layak dan mendukung mereka dalam setiap keputusan yang diambil, kita dapat menciptakan dunia yang lebih adil bagi semua.


Daftar Pustaka


Lianawati, E. (2022). Akhir Pejantanan Dunia. Jakarta: EA Books.


Komnas Perempuan. (2024). Pernyataan Sikap Komnas Perempuan terhadap Ketentuan Aborsi bagi Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam PP No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan. Diakses dari https://komnasperempuan.go.id/pernyataan-sikap-detail/pernyataan-sikap-komnas-perempuan-terhadap-ketentuan-aborsi-bagi-korban-tindak-pidana-kekerasan-seksual-dalam-pp-no-28-tahun-2024-tentang-kesehatan.

Gulir ke Atas