Perencanaan kehamilan menjadi sangat krusial di daerah dengan akses layanan kesehatan reproduksi yang terbatas. Itulah yang menjadi pembelajaran bagi Bidan Mery Amalia Patnay selama berpraktik di Desa Sunu, Kabupaten Timor Tengah Selatan, sejak 2021. Ia selalu berusaha untuk membantu perempuan dalam merencanakan kehamilannya melalui proses konseling.
Bidan Mery pernah menangani kasus kehamilan yang lumayan menantang. “[Pernah ada] ibu hamil yang sedang hamil anak ke-12 dengan usia sekitar 50 tahun. Kami sudah melakukan rujukan terencana, jadi pasien tersebut harus bersalin di rumah sakit,” ujarnya.
Akan tetapi, “karena hujan, keluarga beralasan mereka tidak mau ke rumah sakit,’ ia menambahkan. Padahal, aparat desa telah menelepon mobil ambulans untuk merujuk ibu tersebut. “Pasien menolak karena tidak mempunyai uang. Dari situlah aparat desa memberikan uang transportasi dari dana desa,” kenang Bidan Mery.
Berangkat dari peristiwa inilah, ia mendorong setiap perempuan di Desa Sunu untuk merencanakan kehamilannya dengan matang untuk menghindari hal-hal yang tidak terduga. Dengan perencanaan ini, ia lebih mudah untuk memprioritaskan layanan-layanan yang ada. Hal ini sangat penting bagi Bidan Mery karena ia merupakan satu-satunya bidan di kampung tersebut.
“Karena di sini hanya ada satu bidan, dan jarak antar dusun itu jauh, jadi yang saya lakukan adalah mengunjungi rumah, terutama untuk ibu hamil dengan risiko tinggi dan kehamilannya tidak direncanakan. Dalam kunjungan tersebut, saya memberikan konseling,” tambahnya.
Mengubah perilaku untuk merencanakan kehamilan dengan lebih baik bukanlah perkara mudah. “Kendala yang utama, di sini masih ada tradisi, bahwa memakai KB itu, perempuan dibawa ke gereja terlebih dahulu, baru bisa menggunakan KB. Bahkan masih ada keluarga di mana suaminya yang mengambil keputusan untuk ber-KB,” tandasnya.
Untuk mendorong perubahan itu, Bidan Mery bekerja sama dengan pendeta dan sejumlah pihak termasuk dengan aparat desa dan kelompok orang muda. “Saya pernah melakukan kunjungan ke ibu hamil bersama ibu pendeta dan juga bapak desa karena waktu itu ibu hamil tersebut hamil anak ke-6 dan tidak pernah menggunakan KB,” imbuhnya.
Keluarga tersebut juga menolak untuk dirujuk ke Puskesmas untuk proses persalinan. “Setelah melakukan kunjungan dan [pendeta] mendoakan ibu hamil, akhirnya ibu hamil tersebut mau ke puskesmas. Dia mau memakai implan setelah saya konseling,” kenang Bidan Mery.
Pelatihan KB meningkatkan kepercayaan diri dalam konseling
Bidan Mery mengakui pelatihan bidan yang diselenggarakan Yayasan IPAS Indonesia mampu meningkatkan keterampilannya dalam memberikan konseling untuk merencanakan kehamilan. “Saya mulai percaya diri untuk memberikan konseling yang baik dan benar kepada ibu hamil,” akunya.
Misalnya, ia mulai mengajak ibu dengan kehamilan di atas usia 32 minggu untuk merencanakan kehamilannya. “Jadi yang saya promosikan kepada ibu-ibu hamil adalah KB jangka panjang,” imbuhnya.
“Kenapa saya harus melakukan konseling untuk mereka beralih KB jangka panjang? Karena terkadang mereka menggunakan KB jangka pendek. Dan mereka merantau keluar kota. Nah, saat merantau itu, mereka terkadang lupa tanggal suntiknya,” pungkasnya.