Diskursus ruang publik tentang kekerasaan seksual salah satunya dapat dibangun, dilanggengkan, dan digugat melalui narasi di media massa. Lantas bagaimana narasi tersebut selama ini dipandang oleh pelaku media dan kelompok masyarakat sipil?
Yayasan IPAS Indonesia menggelar diskusi publik pemberitaan media tentang kekerasan seksual dan hak korban atas layanan komprehensif sesuai Undang-Undang pada 10 Agustus 2022 secara daring. Acara ini dihadiri kurang lebih 60 peserta dari jaringan kelompok masyarakat sipil yang bergerak di isu Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) dan jaringan media nasional, lokal dan komunitas.
Tiga Agenda utama diskusi ini adalah mengenalkan ulang isu layanan komprehensif bagi korban perkosaan, mendapatkan data dan informasi tambahan untuk pengayaan studi, dan menyepakati potensi kerja sama dengan media dalam isu Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (KtPA) dan Kekerasan Berbasis Gender (KGB).
Acara diawali dengan pemaparan hasil penelitian tentang pemberitaan tentang isu hak layanan komprehensif bagi korban perkosaan sesuai undang-undang oleh tim peneliti Konde.co. Penelitian yang dilakukan atas kerjasama Yayasan IPAS dan Konde.co ini menghasilkan beberapa catatan penting antara lain:
- Media ramai memberitakan isu kekerasan seskual hanya ketika sedang ramai dibicarakan, jika tidak ramai dibicarakan publik maka media tidak mengangkatnya. Media kurang menghadirkan narasumber ahli yang dapat memebrikan perspektif secara objektif.
- Kurangnya pemahaman awak media tentang isu ini dari aspek hukum dan medis menimbulkan stigma besar dan ketakutan jika menyinggung norma sosial dan agama.
- Keterbatasan awak media melakukan liputan mendalan karena banyaknya target berita harian.
Hasil penelitian tersebut mendapat tanggapan poistif dari nara sumber yang hadir, yakni Siti Mazumah, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Apik (LBH Apik) Jakarta, Rahayu Purwaningsih, Direktur SpekHAM, dan Sunu Dyantoro, Managing Editor Koran Tempo.
Siti Mazumah misalnya, menyambut gembira hasil penelitian dan diskusi ini karena seperti mendapat semangat baru dalam mendampingi korban. Menurutnya, layanan komprehensif bagi korban perkosaan seperti jalan sunyi karena korban harus menanggung semuanya sendiri, menjalani proses hukum dan justru kerap disalahkan. Ia menuturkan bahwa sebagai pendamping tidak berani mengumbar kasus untuk menghindari korban semakin disalahkan (victimized), apalagi selama kasus berjalan. Akibatnya, korban sulit mengakses hak layanan komprehensif untuk mencegah terjadinya kehamilan akibat perkosaan sesuai dengan undang-undang.
“Semoga ini bisa menjadi awal yang baik untuk memenuhi hak korban karena aturan untuk regulasi sebenarnya ada cuma banyak sekali kendala dan implementasinya dan itu kami rasakan,” tutur Zuma.
Sebagaimana kita ketahui bahwa layanan aborsi aman bagi korban perkosaan dilindungi Undang-Undang Kesehatan No 36 tahun 2009 pasal 75, juga Undang-Undang No.12 Tahun 12 tentang Tindak Pindak Kekerasaan Seksual (TPKS). Namun kenyataan di lapangan masih sulit mengakses layanan tersebut, pun opsi-opsi seperti terminasi kehamilan tidak diberikan kepada perempuan sehingga konsekuensinya menjadi panjang. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Ayu dari SpekHAM.
“Dampak ketiadaan layanan bagi korban diantaranya penyintas kekerasan berisiko menjadi pelaku kekerasan (membuang bayi, membunuh bayi dll), terjadinya kriminalisasi terhadap korban dan korban kehilangan kontrol atas tubuhnya,” ungkap Ayu.
Ayu melanjutkan dampak buruk lainnya seperti ketika penyintas terpaksa melanjutkan kehamilan dan menjadi orang tua tunggal sehingga berpengaruh terhadap kualitas kesehatan anak yang tidak baik, terjadi stunting, tidak mampu melakukan pengasuhan anak dengan baik, kematian bayi, hingga akses pendidikan terputus sehingga berpotensi masuk dalam lingkaran kemiskinan.
“Jika penyintas dipaksa menikah dengan pelaku, maka juga berisiko terjadi kekerasaan yang terus menerus, terjadi gangguan kesehatan secara mental dan kejiwaan, trauma berat, hingga depresi,” lanjutnya.
Kenyataan-kenyataan di lapangan seperti yang disampaikan kelompok-kelompok masyarakat sipil sebagai pendamping, harusnya disampaikan kepada pembuat kebijakan bahwa layanan komprehensif untuk korban perkosaan sangat penting. Disinilah media mengambil peran yang krusial. Hal ini seperti yang disampaikan oleh dr. Marcia Soumokil, Direktur Yayasan IPAS Indonesia.
“Peran media sangat penting sebagai bagian dari pilar tata kelola pelayana publik yang baik, seperti bagaimana media berperan besar dalam mendukung dan mendorong advokasi ntuk pemenuhan hak korban untuk mendapat semua layanan untuk pemulihannya, memberi tekanan kepada pembuat kebijakan untuk melaksanakan reguasi yang sudah dibuat, dan memberikan edukasi dalam membentuk persepsi publik,” ujar dr. Marcia.
Sunu Dyantoro dari Koran tempo menyadari tentang kekurangan kualitas pemberitaan media tentang kasus kekerasan seksul, termasuk menyampaikan pemberitaan yang berspektif kepada korban.
“Banyak berita media tidak berpihak pada korban, mengeksploitasi korban, membuka informasi korban kepada masyarakat, penuh stereotip dan stigma. Hasil penelitian ini merupakan kritik buat para jurnalis agar bekerja lebih professional, penelitian ini pada hakikatnya adalah pengawal jiwa jurnalisme kita, tanpa kita perlu membayarnya,” ungkapnya.
Iya menambahkan bahwa tidak semua jurnalis memiliki perspektif yang baik seputar isu kekerasan seksual terhadap perempuan. Jurnalis baru masuk ke redaksi hampir setiap tahun, yang kebanyakan belum memiliki perspektif memadai untuk banyak isu, termasuk isu perkosaan dan hak atas aborsi. Sementara sebagian redaksi media memiliki mekanisme pendidikan dan pelatihan untuk jurnalisnya, sebagian yang lain tidak.
Maka menurutnya sangat penting untuk meningkatkan kapasitas jurnalis untuk banyak isu, termasuk isu perkosaan dan hak atas aborsi yang aman bagi korban. Selain itu, juga perlu untuk terus menyegarkan ingatan dan perspektif editor perihal bagaimana memberitakan yang benar tentang isu perkosaan dan hak atas aborsi.
Diskusi dilengkapi dengan tanya jawab dari peserta kepada nara sumber. Peserta sangat antusias menggali fenomena implementasi hak-hak korban perkosaan di Indonesia. Pun kesadaran media untuk lebih komprehensif dalam ramah terhadap korban dalam memberitakan isu kekerasan seksual semakin meningkat.
Kunci untuk mengurai benang kusut mewujudkan layanan komprehensif untuk korban perkosaan ini adalah kolaborasi semua pihak, baik masyarakat sipil dan media. Yayasan IPAS Indonesia akan senantiasa mendukung semua langkah untuk mewujudkan layanan yang komprehensif bagi korban kekerasan seksual sesuai dengan undang-undang.