Lima tahun telah berlalu sejak gempa bumi mengguncang Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah, pada September 2018. Namun proses pemulihan bagi warga di Desa Tompe, Kecamatan Sirenja, masih menyisakan tantangan. Sejumlah warga masih bertahan di hunian sementara (huntap), yang menandakan bahwa perjalanan menuju pemulihan penuh masih berlangsung. Hingga saat ini, 340 huntap masih dihuni sebagai tempat tinggal warga Desa Tompe.
Perpindahan tempat tinggal ini tidak hanya menyentuh aspek fisik, tetapi juga menciptakan dampak sosial yang mendalam. Jumlah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Desa Tompe mengalami peningkatan sejak kejadian bencana, diduga karena dipicu oleh ketidakstabilan ekonomi dan sosial.
Sebelum gempa, perekonomian warga Tompe cenderung mandiri dengan mayoritas mengandalkan hasil tangkapan laut sebagai mata pencaharian utama. Suami atau laki-laki di keluarga umumnya menjadi nelayan, sementara istrinya menjual hasil tangkapan. Namun, gempa tahun 2018 mengubah dinamika ini. Banyak warga terpaksa beralih profesi atau mengalami penurunan penjualan, maka menghadapi penurunan signifikan dalam pendapatan harian mereka.
Salah satu warga Tompe yang bernama Ibu Fatnur mengatakan, sebelum bencana, ia bisa menghasilkan uang Rp 600.000 dalam sehari dengan berjualan ikan keliling. Setelah guncangan gempa 2018, pendapatannya turun hingga separuh. “[Jualan ikan] dari pagi jam 07.00 WITA pulang jam 11.00 WITA. Kalau tidak habis disambung lagi jam 15.00 WITA sampai jam 19.00 malam. Kadang habis, kadang tidak. Pemasukan kalau laku [semua] Rp 300.000,” ungkap Ibu Fatnur. Penurunan pendapatan ini karena daya beli masyarakat yang turun setelah bencana.
Banyak warga yang beralih mata pencaharian itu dibenarkan oleh Kepala Desa Tompe, Bapak Herdi. Sejumlah nelayan terpaksa berganti profesi menjadi petani karena lokasi huntap mereka yang berada di gunung. Sebelumnya, mereka adalah nelayan yang rumahnya berada di pinggir laut. Meski begitu, Bapak Herdi menegaskan, banyak juga warga yang melakukan pekerjaan ganda – baik sebagai nelayan dan petani – untuk memenutup kebutuhannya.
Selain mengubah kondisi perekonomian, proses adaptasi dari rumah ke huntap setelah bencana disebut menaikkan kasus KDRT di desa tersebut. “Ada sedikit presentasi [kenaikan KDRT]. Kami tidak bisa menghitungnya, tapi ada kenaikan. Gara-gara ekonomi, kehidupan serba kekurangan memicu emosi,” ujar Bapak Herdi.
Ia menambahkan, KDRT yang terjadi semenjak ia menjabat sebagai kepala desa sejak 2020, adalah kasus yang mengarah ke perceraian. Biasanya, kasus seperti itu bisa diselesaikan secara kekeluargaan atau mediasi. “Kalau pencabulan tidak mau mediasi seperti itu. Saya harus tindak lanjuti ke atas (polisi). Alhamdulillah, di Desa Tompe tidak nampak kasus [pencabulan] seperti itu sampai hari ini,” imbuhnya.
Terjadinya KDRT ini membuat Herdi mencari tahu cara bagaimana memberikan pemahaman kepada warganya terkait kekerasan dan dampaknya. Usai mengikuti workshop terkait dengan penanganan kekerasan seksual yang diadakan oleh Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKP-ST) pada 2022, ia mulai mendapat gambaran. Pada November 2023, ia menginisiasi program sosialisasi kepada warga dengan menghadirkan berbagai pemangku kepentingan, seperti pihak kepolisian, kejaksaan, dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Donggala. Untuk mendukung kegiatan tersebut, ia menggelontorkan dana dari anggaran Dana Desa.
“Saya alokasikan dana Rp 23.275.000 dalam bentuk sosialisasi tentang [kekerasan terhadap] perempuan, yang dibuka langsung oleh Dinas [DP3A] yang melibatkan 50 warga dan tokoh masyarakat,” imbuhnya.
Selain itu, ia juga membentuk Satgas PPA di desanya. “Awal 2023, setelah temen-temen [KPKP-ST] mengundang [ke workshop], kami lebih paham. Saya bersyukur ada ilmu di situ dan ini memang harus dilakukan di masyarakat,” tegasnya.
Dalam kurun Agustus-Desember 2023, KPKP-ST dengan dukungan Yayasan IPAS Indonesia, telah melakukan 10 kali kegiatan workshop terkait dengan penguatan komitmen pemerintah desa untuk mendorong inovasi kebijakan dan dukungan anggaran untuk pencegahan kekerasan terhadap gender. Workshop tersebut diikuti oleh 249 peserta dari perwakilan desa di Kabupaten Donggala dan Sigi.