Yayasan Inisiatif Perubahan Akses menuju Sehat (IPAS) Indonesia meluncurkan program CERAH (Climate Emergency, Reproductive Rights and Health/ Krisis Iklim, Hak & Kesehatan Reproduksi) di Palu, Sulawesi Tengah, pada Selasa (6/11/2024). Program ini bertujuan untuk meningkatkan ketangguhan sistem layanan kesehatan primer pada perubahan iklim, dalam ruang lingkup kesehatan reproduksi – termasuk penanganan kasus Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS). Program ini akan dijalankan di Kabupaten Sigi, Parigi Moutong dan Donggala dalam periode 2024-2026.
Pada 2022, Yayasan IPAS Indonesia bersama dengan Universitas Hasanuddin melakukan riset untuk mengetahui keterkaitan antara krisis iklim dan kesehatan di Sulawesi Tengah. Studi tersebut menunjukkan, krisis iklim yang diperparah dengan bencana alam bisa menyebabkan krisis kesehatan, terutama akses layanan kesehatan reproduksi. Selain itu, kondisi tersebut menyebabkan naiknya kasus KBGS dan pernikahan anak.
Direktur Eksekutif Yayasan IPAS Indonesia dr. Marcia Soumokil, MPH mengatakan ketangguhan sistem layanan kesehatan sangat mendesak di tengah krisis iklim yang terus berlangsung. Ia menegaskan dalam situasi bencana akibat krisis iklim, akses kesehatan reproduksi, terutama untuk perempuan dan remaja perempuan serta layanan kesehatan bagi korban dan penyintas KBGS perlu menjadi prioritas.
“Kami berharap, program CERAH ini bisa menjadi program percontohan bagi daerah-daerah di Indonesia dalam meningkatkan ketangguhan sistem layanan kesehatan primer baik dalam situasi bencana maupun non-bencana,” ujar dr. Marcia.
Dalam sambutannya, PJS Gubernur Sulawesi Tengah Novalina yang diwakili oleh Kepala Dinas Kesehatan I Komang Adi Sujendra mengatakan perlu adanya adaptasi untuk mempersiapkan sistem kesehatan yang lebih tangguh akibat dampak dari krisis iklim.
Ia menambahkan, program CERAH tidak hanya menjawab kebutuhan layanan kesehatan saat ini, tetapi juga mempersiapkan masyarakat dalam menghadapi tantangan di masa depan.
“Kita semua tahu bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia yang fundamental. Namun, masih banyak tantangan yang dihadapi masyarakat kita, terutama dalam hal akses terhadap layanan Kesehatan yang berkualitas,” ujarnya dalam pembukaan program.
Untuk itu, lanjutnya, perlu adanya kolaborasi dari semua pihak untuk mewujudkan layanan kesehatan yang tangguh. “Mari tingkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan reproduksi dan dampak perubahan iklim terhadap kesehatan kita. Dengan kerja sama yang baik, saya yakin kita dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan an memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat di Sulawesi Tengah,” imbuhnya.
Talkshow Pemenuhan Hak Reproduksi Perempuan dalam Menghadapi Krisis Iklim
Dalam talkshow ini, Yayasan IPAS Indonesia mengundang Dra. Eko Novi Ariyanti R.D, M.Si Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Sosial dan Budaya Kementerian Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Dalam kesempatan ini, ia diwakilkan oleh Meidiani Lestari Dewi Penata Kelola Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Sosial dan Budaya. Dua narasumber lainnya adalah perwakilan orang muda dari Sulawesi Tengah Aditya dan jurnalis perempuan lingkungan Minnie Rivai dari Mongabay.
Mediani menuturkan, dampak dari krisis iklim itu tidak gender netral karena perempuan lebih terdampak dibandingkan laki-laki. Ia menyoroti krisis air akibat dari perubahan iklim. “Perempuan harus jalan jauh untuk mencari air yang mengganggu produktivitas sampai dengan perekonomian perempuan,” ucapnya.
Ia menegaskan, cuaca ekstrem karena perubahan iklim bisa menyebabkan ibu hamil mengalami hipertensi dan melahirkan secara prematur. “[KemenPPA] memastikan bagaimana perempuan ataupun remaja perempuan, ibu hamil yang membutuhkan sarana fasilitas kesehatan di lokasi pengungsian tetap ada,” imbuhnya.
Ia menambahkan, KemenPPA juga telah berkomitmen untuk mengarusutamakan kesetaraan gender dalam aksi perubahan iklim. Di antaranya adalah memastikan kesetaraan gender sudah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025-2045. “Peran KemenPPA terus mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk mengarusutamakan kesetaraan gender mulai dari penyusunan anggaran hingga pelaporan di seluruh sektor pembangunan,” imbuhnya.
Dari sisi anak muda, Aditya mengatakan, banyak perempuan yang mengalami pelecehan baik verbal maupun non-verbal akibat krisis iklim ini. Hal itu, ia ketahui setelah mengikuti pelatihan Photovoice untuk menggali dampak krisis iklim terhadap kesehatan reproduksi melalui seni fotografi. “Saya angkat dalam photovoice dampak krisis iklim itu, perempuan banyak mengalami gatal-gatal di area payudara dan vagina karena air,” imbuhnya.
Sementara itu, dari sisi media, Minnie berharap, program CERAH bisa memberikan informasi dalam memberitakan terkait dengan isu krisis iklim dan kesehatan. “Informasi data dan informasi fakta-fakta lapangan teman-teman media dari program CERAH berharap bantuan saling membantu memberikan informasi yang jauh lebih jelas, kalau pun menuliskan lebih pada solusi, solution journalism jauh memberikan jawaban yang bagus,” pungkasnya.