Kondisi geografis yang menantang disertai dengan rendahnya pengetahuan masyarakat memperburuk situasi keguguran di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Dokter Kristina Lawung mengatakan ada tiga pasien keguguran yang datang ke puskesmasnya dalam periode Agustus 2024 hingga Februari 2025. Semua pasien tersebut dirujuk ke rumah sakit.
Perkara rujuk, ia menegaskan, bukan hal yang mudah. Terkadang banyak pasien yang dirujuk karena kondisinya yang semakin parah. “Terkadang pasien datang sudah dengan perdarahan dari malam hari, tapi baru dibawa ke puskesmas keesokan harinya,” ujar Dokter Kristina.

Hal itu bukan tanpa sebab. Kondisi akses jalan di desa-desa di TTS tidaklah semulus aspal jalanan Jakarta. “Karena kondisi akses jalan yang sulit, sering kali pasien datang dengan kondisi pendarahan, sehingga biasanya dokter spesialis minta segera dirujuk ke RSUD,” imbuhnya.

Permasalahan tidak sampai di situ. Pertimbangan biaya membuat pasien menjadi dilema. “Karena jika saat dirujuk dan dari hasil pemeriksaan dinyatakan harus dirawat inap di [rumah sakit] di kota, ini yang sering membuat keluarga terbebani dengan biaya,” ujarnya.
Keluarga pasien kerap membutuhkan waktu yang tak singkat memutuskan hal tersebut. Kerap mereka akhirnya menolak untuk dirujuk.
Jemput bola dan sosialisasi soal tanda keguguran
Di tengah terbatasnya akses, Bidan Yane Amalo tak pernah berhenti untuk memberikan edukasi kepada perempuan yang tengah hamil lewat kegiatan posyandu di desanya, Bena. Selain bidan, ada juga kader-kader yang mensosialisasikan terkait dengan tanda bahaya kehamilan dan tanda-tanda keguguran.
“Kami sudah sering menginformasikan jika terjadi tanda bahaya seperti flek atau keluar darah dari jalan lahir harus segera dibawa ke Puskesmas,” ujar Bidan Yane.
Ia juga kerap melakukan kunjungan ke rumah pasien yang telah selesai dirawat di rumah sakit.
Angka keguguran di TTS cukup tinggi
Dokter Spesialis Kandungan dan Kebidanan Edward Manurung atau yang kerap disapa Dokter Edo mengatakan, keguguran masuk dalam 10 daftar kasus kesehatan terbesar di RSUD Soe. Secara rata-rata setiap minggu ada dua atau tiga kasus yang ditangani.
“Kebanyakan kasus keguguran yang ditangani di sini rata-rata abortus inkomplit yaitu sebagian jaringan sudah keluar dari rahim baik kejadiannya di rumah atau di puskesmas, kemudian baru dirujuk ke rumah sakit dalam kondisi pendarahan,” ucapnya.

Ia menambahkan, pasien keguguran biasanya ditangani dengan cara menggunakan kuretase tajam. Metode ini memang lebih dikenal oleh para spesialis kandungan dan kebidanan.
“Saya yakin hampir semua spesialis kandungan yang masih di daerah itu rata-rata masih menggunakan kuret tajam, karena memang selama pendidikan kita tidak dikenalkan dengan AVM (Aspirasi Vakum Manual), jadi rata-rata seperti itu,” tegasnya.
Sejak tahun 2012, Badan Kesehatan Dunia (WHO) sudah tidak merekomendasikan penggunaan kuretase tajam dalam menangani keguguran. Alternatifnya adalah menggunakan vakum aspirasi atau obat-obatan. Metode ini bisa mengurangi komplikasi berat pada pasien.
Dokter Edo tak menampik dirinya juga mulai menggunakan AVM. “Selama ini kita menganggap bahwa AVM itu kurang bersih atau AVM itu tidak terlalu bagus atau ribet atau repot mengerjakannya. Ternyata setelah kita kerjakan sendiri malah menurut saya lebih efektif, lebih bersih terus lebih tidak membuat rasa nyeri pada pasien,” ujarnya.
Meski begitu, ada sejumlah kendala yang dihadapi ketika ia menggunakan metode yang lebih aman dan nyaman bagi pasien ini. “Karetnya setelah penggunaan beberapa lama itu menjadi kaku sehingga pada waktu ditarik terasa lebih keras, itu saja sih selain itu tidak ada masalah,” tegasnya.

Ia menambahkan, manajemen rumah sakit belum banyak yang beralih menggunakan AVM. Hal ini terjadi karena memang prioritas rumah sakit masing-masing.
Dokter Edo merupakan salah satu peserta Pelatihan Asuhan Pasca Keguguran yang Komprehensif di NTT untuk Mendukung Implementasi Awal Layanan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. Pelatihan ini dilakukan di Kota Kupang pada Agustus 2024.
Pelatihan ini merupakan bagian dari proyek TAKENUSA (Tekad Bersama untuk Kesehatan Perempuan Nusa Tenggara). Tujuan dari proyek ini adalah untuk memperluas akses kontrasepsi dan asuhan pasca keguguran di Kabupaten TTS, Flores Timur dan Kabupaten Kupang.