Pada Agustus 2022, pemerintah Indonesia telah mendeklarasikan komitmennya untuk berkontribusi dalam FP2030, sebuah kemitraan global untuk perencanaan keluarga. Dalam deklarasi tersebut, hingga 2030, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mewujudkan pelayanan Keluarga Berencana (KB) dan kesehatan reproduksi yang berbasis sukarela dan berkualitas sesuai dengan ketentuan hukum.
Sebetulnya bagaimana maksud dari KB yang berbasis sukarela? Mengapa hal ini penting bagi perempuan dan keberlanjutan program KB?
Secara sederhana, KB yang berbasis sukarela berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) atau berbasis hak. Artinya adalah layanan KB itu seharusnya di bawah prinsip-prinsip HAM seperti non-diskriminasi, ketersediaan, aksesibilitas, penerimaan, kualitas informasi serta layanan perencanaan keluarga, pengambilan keputusan yang berinformasi, privasi dan kerahasiaan, partisipasi dan serta akuntabilitas.
Sebagai analoginya, ketika seorang perempuan telah memutuskan untuk memilih metode alat kontrasepsi baik alamiah atau modern, hal itu harus sesuai dengan pilihan dan kondisi kesehatannya. Ia berhak mendapatkan informasi yang akurat. Ketika konseling, privasinya tidak boleh disebar ke pihak lain. Ia juga harus disambut tanpa diskriminasi ketika mengakses layanan.
KB berbasis sukarela ini merupakan konsep ideal bagi perempuan untuk mewujudkan hak-hak reproduksi. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, KB berbasis sukarela ini berkontribusi besar terhadap pemberdayaan perempuan, tidak hanya dalam segi kesehatan, tetapi juga dari segi pendidikan dan ekonomi. Bahkan pendekatan ini bisa menjadi cara paling efektif dalam menciptakan masyarakat yang lebih berkelanjutan dan sejahtera.
Di Indonesia sendiri, penerapan KB berbasis hak masih menghadapi sejumlah tantangan. Nilai-nilai budaya, norma sosial dan sistem patriarki masih menjadi hambatan bagi perempuan untuk menentukan haknya dalam merencanakan keluarga. Ditambah lagi, akses yang terbatas dan perbedaan kualitas serta stigma memperparah pemenuhan hak perempuan.
Di sejumlah daerah dengan konstruksi sosial patriarki, jumlah anak kerap ditentukan oleh suami dan keluarga besar, bukan oleh perempuan itu sendiri. Selain itu, membatasi jumlah anak dengan menggunakan kontrasepsi dianggap sebagai menyalahi norma budaya. Di beberapa daerah, kontrasepsi dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan. Hal ini menjadikan penggunaan kontrasepsi masih rendah hingga menyebabkan perencanaan keluarga belum maksimal.
Meski begitu, kita patut mengapresiasi dengan capaian dari program KB di Indonesia. Menurut data dari BPS, tren penggunaan KB secara nasional untuk perempuan usia 15-49 tahun naik dari 2021 ke 2023, yakni dari 55,06% pada 2021 menjadi 55,49% pada 2023. Angka bisa diartikan tingkat kesadaran dalam merencanakan KB semakin baik.
Selain itu, pemerintah juga berhasil menurunkan jumlah bayi yang lahir (angka fertilitas). Berdasarkan data dari BPS, angka fertilitas pada 2020 turun menjadi 2,27 dari 2,41 pada 2010. Angka tersebut ditargetkan menjadi 2,21 pada 2025.
Keberhasilan ini didukung oleh banyak kebijakan yang diluncurkan oleh pemerintah seperti pelibatan seluruh pemangku kepentingan, pemanfaatan media, dan peran tokoh agama untuk mengedukasi masyarakat mengenai apa pentingnya kontrasepsi sekaligus mengedukasi secara komprehensif mengenai jenis-jenis kontrasepsi dan dampaknya serta pentingnya memiliki perencanaan yang baik sebelum hamil.
Meski begitu, yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana sebetulnya perempuan memutuskan memilih kontrasepsi dalam merencanakan keluarganya. Kita bisa refleksi sedikit bagaimana program KB dilakukan pada era 1990an. Memang, program KB pada zaman tersebut diklaim berhasil.
Pada saat itu banyak perempuan yang diminta untuk KB karena dalih agenda untuk memperbaiki kesejahteraan penduduk. Karena itu, para perempuan tidak diberikan informasi yang transparan terkait dengan pilihan dan juga dampaknya. Bahkan pada masa itu program KB melibatkan TNI dan Polri. Hal ini menunjukkan program KB saat itu jauh dari basis hak.
Pada 2016, pemerintah mulai mengarah ke KB yang berbasis hak dengan program Kampung KB. Program tersebut berupaya melatih tenaga kesehatan untuk memberikan pemahaman perempuan dalam menggunakan kontrasepsi yang lebih baik.
Terkait dengan KB yang berbasis hak, kita bisa belajar dari Ethiopia. Dalam mengedukasi pentingnya KB yang berbasis hak, pemerintah Ethiopia melibatkan tokoh agama. Para tokoh tersebut menekankan bahwa penggunaan kontrasepsi bukanlah bentuk penolakan terhadap ajaran agama. Langkah ini berhasil mengurangi stigma dan meningkatkan kesadaran di kalangan masyarakat. Angka penggunaan kontrasepsi di Ethiopia sebanyak 44,2% di 2023 dan tertinggi ada di Addis Ababa sebesar 52,3%.
Angka pencapaian KB memang penting karena menjadi indikator sejauh mana progres dari program ini. Akan tetapi, pemenuhan hak perempuan juga tidak boleh dikesampingkan. Untuk mendukung pilihan hidup perempuan, harus ada akses yang mumpuni bebas stigma. Serta jaminan-jaminan tidak adanya diskriminasi atau pemaksaan. Karena, untuk hamil, tidak hamil dan merencanakan kehamilan, itu adalah hak yang mendasar bagi perempuan.