Yayasan IPAS Indonesia mendukung Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia untuk mengadakan pelatihan Asuhan Pasca Keguguran (APK) yang komprehensif. Pelatihan ini dilakukan di RSUD WZ Johannes, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada 12-16 Agustus 2024.
Kegiatan ini bertujuan untuk menyiapkan dan menguatkan kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) khususnya tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan APK yang komprehensif sebagai langkah awal untuk implementasi perluasan layanan APK komprehensif di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), khususnya Puskesmas.
APK merupakan serangkaian tindakan untuk menangani perempuan yang mengalami keguguran. APK sangat krusial untuk menurunkan tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia. Hasil sensus tahun 2020 menunjukkan rasio kematian ibu adalah 189 per 100.000 kelahiran bayi yang hidup. Data dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes pada 2012 menunjukkan 4% kasus kematian ibu disebabkan karena keguguran.
Khususnya di NTT, kondisi geografi dan kurang meratanya pelayanan kesehatan masih menjadi tantangan dalam menangani kasus keguguran. Sebagai contoh, akses rujukan dari puskesmas ke rumah sakit kerap terhalang banjir saat musim hujan. Selain itu, sejumlah jalan kondisinya rusak dan beberapa jembatan roboh. Hambatan ini bisa membahayakan keselamatan pasien.
“[Untuk merujuk], pertama butuh biaya, untuk keadaan cuaca tertentu, tidak bisa menyeberang,” ujar Bidan Saleha Novilla Pattimoa, A.Md.Keb.
Selain itu, jumlah tenaga medis yang ada di rumah sakit daerah, khususnya dokter spesialis kandungan sangat terbatas, ditambah beban kerjanya tinggi. Sementara itu, sejauh ini, pasien dengan keguguran biasanya langsung dirujuk ke rumah sakit dari pihak puskesmas.
“Kalau kami satu kabupaten hanya ada satu rumah sakit, melayani sekitar 13 Puskesmas. Kami banyak kasus yang kita tangani, setiap hari ada kasus keguguran. Kami ada dua orang dokter spesialis kandungannya,” kata dr. Yustinus M. Ujan, SpOG(K).
Dari kondisi tersebut, pelatihan ini mencoba untuk menjawab tantangan melalui penguatan kapasitas tenaga kesehatan agar dapat memperluas dan mendekatkan akses APK kepada perempuan. Pelatihan ini dilaksanakan dengan menggunakan kurikulum APK Komprehensif yang sudah terakreditasi.
Pendekatan kolaborasi inter-profesi
Sejalan dengan pedoman nasional, pelatihan di NTT ini mengedepankan pendekatan kolaborasi inter-profesi yang melibatkan dokter spesialis kandungan, dokter umum, dan bidan. Tujuannya adalah untuk membentuk kerja sama yang solid dengan saling memahami peran dan kewenangan masing-masing profesi dalam memberikan layanan APK.
Konsep pelatihan kolaboratif ini juga bertujuan untuk memastikan pemenuhan kebutuhan untuk perluasan layanan APK hingga fasilitas tingkat pertama yang sejalan pedoman APK nasional yang diterbitkan pada tahun 2020.
Dari pendekatan ini, diharapkan tidak semua kasus keguguran langsung dirujuk ke rumah sakit. Akan tetapi, layanan dapat dilakukan di puskesmas sesuai dengan pedoman APK. Dalam panduan APK nasional, FKTP khususnya Puskesmas dengan akses ke Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut/ Rumah sakit yang sulit atau kondisi gawatdarurat, berwenang untuk menangani kasus keguguran tanpa komplikasi dengan usia kehamilan kurang dari 13 minggu secara komprehensif.
Oleh sebab itu, pelatihan ini diharapkan dalam membentuk tim yang solid, saling percaya, dan saling mendukung. Meski begitu, sebagai supervisor, dokter spesialis kandungan, memiliki peran yang sangat penting untuk memastikan pelaksanaan layanan oleh tim puskesmas.
“Menurut saya pelatihan ini bagus akan tetapi untuk spesialis kandungan durasinya terlalu panjang. Saran saya dibuat blended kombinasi offline dan online, teori bisa dibaca sendiri. Buat beginner seperti bidan, nah itu bisa lima hari,” ujar dr. Edward Manurung SpOG(K).
Penggunaan prosedur medis yang direkomendasikan WHO
Tujuan lain dari pelatihan ini adalah untuk mengenalkan alat Aspirasi Vakum Manual (AVM) dalam melakukan APK. AVM merupakan prosedur medis yang digunakan untuk mengeluarkan jaringan dari dalam rahim menggunakan alat vakum atau penyedot. Penggunaan AVM ini sangat direkomendasikan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Perkumpulan Obstetri Dan Ginekologi Dunia (FIGO) karena keamanannya.
Dengan pengenalan AVM, diharapkan peserta mulai beralih dari metode kuretase tajam ke penggunaan AVM. Kuretase tajam adalah tindakan medis untuk membersihkan sisa hasil konsepsi dengan mengerok lapisan rahim dengan menggunakan alat yang mirip dengan bentuk sendok dan tajam.
Penggunaan kuretase tajam bisa meningkatkan risiko komplikasi dalam penanganan APK seperti, perforasi rahim (rahim tertusuk alat bedah) dan Asherman Syndrom (luka parut dalam dinding rahim). Komplikasi tersebut dapat menyebabkan kemampuan memiliki anak pada perempuan menjadi lebih susah serta merusak lapisan rahim. Dampak kuret tajam pada perempuan yang hamik kembali, dapat menyebabkan perlengketan plasenta saat proses persalinan.
“Yang saya pelajari dari pelatihan ini adalah penggunaan AVM, karena dari dulu AVM diajarkan di mata kuliah tapi kayak kita belum terlalu familiar, dan ternyata kuretase tajam sudah ditinggalkan,” kata Dokter Pujiastuti Wetang.
Data dari Guttmacher Institute (2020) menunjukkan baru 67% rumah sakit di Pulau Jawa yang memiliki peralatan AVM. Dari jumlah tersebut, hanya 7% pasien yang ditangani menggunakan APK. Untuk di NTT, sejumlah peserta pelatihan mengatakan, penanganan pasien keguguran masih menggunakan kuretase tajam.
“Kami masih menggunakan kuretase tajam, karena AVM tidak ada, 10 tahun pakai kuretase tajam,” ujar Dokter Edward.
Sejauh ini, ada dua cara yang direkomendasikan WHO dan FIGO untuk menangani keguguran. Yang pertama adalah tindakan operatif dengan menggunakan AVM untuk usia kehamilan di bawah 14 minggu serta dilatasi dan evakuasi untuk kehamilan ≥ 14 minggu. Yang kedua adalah tindakan medikamentosa dengan pemberian obat misoprostol sesuai dosis dalam panduan APK.
Dari pelatihan ini Yayasan IPAS Indonesia memberikan alat AVM kepada rumah sakit yang tenaga kesehatannya menjadi peserta. Kami juga mendorong Kemenkes untuk memfasilitasi pengadaan alat tersebut karena AVM telah masuk dalam katalog Kemenkes. Dengan begitu, APK ini bisa dilakukan di Puskesmas dan juga rumah sakit.