Puskesmas dan Hak Kesehatan Mental Korban Kekerasan Seksual: Jangan Sampai Terabaikan Akibat Efisiensi Anggaran!

Ditulis oleh Kristian Yudhianto, Pemenang Lomba Menulis Keadilan Reproduksi Yayasan IPAS Indonesia.

Baru-baru ini, pemerintah Indonesia mengumumkan kebijakan efisiensi anggaran yang berdampak pada penghematan belanja program pada sejumlah Kementerian dan  Lembaga, termasuk juga belanja Pemerintah Daerah.1 Pada sektor kesehatan,  Kementerian Kesehatan melalui SE No. HK. 02.02/A/548/2025 sebenarnya sudah  menegaskan jika efisiensi anggaran hanya menyasar pada pembatasan biaya  operasional seperti sarana pendukung kantor dan tidak berdampak pada layanan kesehatan.

Namun, jika mengacu pada Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900/833/SJ tentang Penyesuaian Pendapatan dan Efisiensi Belanja Daerah, Pemerintah Daerah wajib melakukan penyesuaian belanja APBD yang bersumber dari Transfer ke Daerah (TKD)2. Konsekuensinya, anggaran Puskesmas yang berasal dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota mengalami pengurangan akibat efisiensi anggaran TKD.

Puskesmas merupakan layanan kesehatan yang sangat penting bagi masyarakat. Puskesmas adalah layanan kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat dan menyediakan layanan kesehatan mulai dari pengobatan dan rehabilitasi hingga promosi kesehatan dan pencegahan penyakit.

Namun, jika kita membahas hak kesehatan untuk korban kekerasan seksual, kebutuhannya tentu tidak bisa disamakan dengan masyarakat pada umumnya. Kekerasan berbasis seksual dan gender serta berbagai bentuk pelecehan dan eksploitasi seksual, menjadikan perempuan dan anak perempuan sebagai kelompok risiko tinggi mengalami trauma fisik dan mental serta mengalami kehamilan yang tidak diinginkan dan penyakit infeksi menular seksual, yang ujungnya berefek pada gangguan kesehatan mental yang membutuhkan perhatian secara khusus.

Seharusnya, dengan melihat tren peningkatan kasus kekerasan seksual di Indonesia, Puskesmas harus berperan sebagai sarana paling terdekat bagi penyintas untuk mendapatkan hak kesehatan, terutama rehabilitasi mental. Hal ini sesuai dengan amanat UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Pidana Kekerasan Seksual yang menegaskan bahwa korban berhak mendapatkan dukungan medis dan psikososial sebagai bagian dari pemulihan

Namun, faktanya, hanya sedikit Puskesmas di Indonesia yang menyediakan layanan kesehatan jiwa. Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa hingga 2024, baru 38 persen Puskesmas yang memiliki layanan tersebut, dan sebagian besar terpusat di kota-kota besar3.

Dari segi jumlah tenaga psikolog, rasio psikolog klinis yang aktif di Indonesia juga menunjukkan angka yang memprihatinkan dengan rasio 1 psikiater per 250.000 penduduk dan 1 psikolog klinis per 90.000 penduduk.4 Tentunya rasio ini jauh dibawa standar WHO yang menyebutkan angka ideal rasio psikiater dan psikolog klinis 1 per 30.000 penduduk.

Kondisi ini tentu menjadi hutang pemerintah yang perlu diselesaikan, mengingat Indonesia menandatangani dan mengadopsi Beijing Declaration and Platform for Action (1995) dan the Beijing +5 Political Declaration and Outcome Document (2000) dimana pemerintah wajib mengintegrasikan layanan kesehatan mental ke dalam sistem layanan kesehatan primer dan melatih tenaga kesehatan primer untuk mengenali serta merawat anak perempuan dan perempuan dari segala usia yang telah mengalami berbagai pentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, atau kekerasan lainnya akibat konflik bersenjata maupun non-bersenjata.


Sayangnya, kebijakan efisiensi anggaran yang lebih memprioritaskan belanja utama pada program Makan Bergizi Gratis dan sektor pertahanan justru membuat isu kebutuhan kesehatan mental bagi korban kekerasan seksual semakin terpinggirkan. Sebenarnya, Kementerian Kesehatan telah mengupayakan perluasan skrining kesehatan jiwa secara mandiri yang bisa diakses secara daring melalui aplikasi SATUSEHAT Mobile. Namun, tentunya intervensi ini tidak efektif untuk kelompok berisiko tinggi seperti korban kekerasan seksual yang membutuhkan pendampingan intensif dan jangka panjang. Selain itu, penggunaan aplikasi daring juga masih belum efektif menjangkau masyarakat yang hidup di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) dengan akses internet dan teknologi yang masih rendah.


Efisiensi anggaran pemerintah seharusnya tidak mengorbankan langkah esensial dalam mendukung hak kesehatan masyarakat, utamanya hak atas layanan kesehatan yang komprehensif bagi korban kekerasan seksual. Puskesmas harus menjadi garda terdepan dalam upaya rehabilitatif dan pendampingan kesehatan mental bagi korban kekerasan seksual. Selain itu, Pemerintah Daerah juga perlu lebih peka terhadap kebutuhan khusus korban dalam hal pendampingan kesehatan mental.

Salah satu contoh praktik baik dapat dilihar dari Kabupaten Purbalingga dengan program inovatif Puskesmas Peduli Penderita Jiwa (PUSPITA). Melalui program ini, Puskesmas didorong untuk menyediakan layanan kesehatan jiwa seperti pembentukan kader jiwa, konseling, hingga kunjungan rumah bagi pasien dengan gangguan jiwa. Program ini terbukti mendekatkan layanan kesehatan jiwa kepada masyarakat yang membutuhkan dan meningkatkan pelacakan pasien baru. Inovasi seperti ini menjadi bukti bahwa meskipun ada kebijakan efisiensi anggaran, pemerintah harus tetap menghadirkan solusi kreatif untuk memastikan akses layanan kesehatan yang lebih dekat dan inklusif, terutama bagi kelompok berisiko tinggi seperti korban kekerasan seksual

  1. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, “Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025”, 24 Maret 2025, https://peraturan.bpk.go.id/. ↩︎
  2. Surat Edaran (SE) Nomor 900/833/SJ, “Penyesuaian Pendapatan dan Efisiensi Belanja Daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah TA 2025, 24 Maret 2025, https://jdih.kemendagri.go.id/ ↩︎
  3. Baru 38 Persen Puskesmas yang Sediakan Layanan Kesehatan Jiwa”, 24 Maret 2025, https://www.tempo.co/ ↩︎
  4. Penanganan Kesehatan Mental di Indonesia”, 24 Maret 2025, https://berkas.dpr.go.id/ ↩︎
Gulir ke Atas