Oleh: Simon P Pati Hokor/ Takenusa YPPS
Di bawah terik matahari siang pada 17 September 2025, beberapa warga Desa Nobo tampak berkumpul di bawah rimbunan pohon di pinggir jalan Trans Maumere-Larantuka di dekat pantai Waidoko. Pantai itu berjarak satu kilometer dari pemukiman Desa Nobo.
Mereka adalah para pengungsi mandiri dari Desa Nobo yang terdampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki. Di antara mereka, berdiri seorang perempuan berwajah teduh namun penuh semangat. Dialah Maria Yana Ariyani Bate, atau yang akrab disapa Mama Yana.
Setelah erupsi memaksa mereka meninggalkan rumah, Mama Yana bersama suami dan lima anaknya membangun rumah darurat berukuran sekitar 4×4 meter di ladang berbatu dan gersang. Tanah di sekitarnya keras, dipenuhi batu besar dan kecil. Pondok sederhana itu hanya cukup untuk tidur berdesakan, sementara aktivitas memasak dilakukan di luar, di bawah naungan terpal seadanya.
Angin panas dari arah gunung membawa debu halus yang menempel di rambut dan pakaian. Di luar pondok, tungku kecil mengepulkan asap tipis dari kayu bakar basah. Namun di tengah keterbatasan itu, Mama Yana tetap tersenyum. “Yang penting kami selamat,” ujarnya pelan. “Masih bisa makan, masih bisa bantu orang lain.”
Dari Posyandu ke Panggung Edukasi

Meski hidup di pengungsian, semangat Mama Yana tak pernah surut. Siang itu, di bawah rindang pohon yang menjadi tempat berteduh para pengungsi, ia memandu dialog tentang Keluarga Berencana (KB) dan kesehatan reproduksi bersama para kader kesehatan masyarakat serta kelompok laki-laki dan perempuan. Materinya beragam; mulai dari KB pasca melahirkan, peran ayah dalam pengambilan keputusan ber-KB, hingga pendampingan orang tua terhadap anak remaja.
Mama Yana, 37 tahun, adalah seorang ibu rumah tangga yang dipercaya sebagai kader kesehatan masyarakat Desa Nobo. Suaminya, Philipus Wato Bukan, 41 tahun, bekerja sebagai nelayan. Mereka memiliki lima anak; empat laki-laki dan satu perempuan. Selain melaut, keluarga ini juga memiliki kebun kelapa dan kemiri di Desa Dulipali. Namun, pasca letusan Gunung Lewotobi, kebun mereka rusak tertutup abu vulkanik. “Kelapa banyak dicuri orang, kemiri juga tak berbuah karena terkena debu,” katanya lirih.
Mama Yana mulai aktif dalam Program TAKENUSA (Tekad Bersama untuk Kesehatan Perempuan NTT) sejak program itu hadir di desanya tahun 2023 laliu. Sebelumnya, ia sudah menjadi kader posyandu, namun dengan Takenusa memperluas wawasannya.
“Dulu saya pikir kalau ibu keguguran pasti harus dikuret. Setelah ikut pelatihan dari YPPS, saya tahu ternyata ada metode pembersihan manual oleh dokter kandungan,” ujarnya bangga.
Sejak itu, Mama Yana terbiasa memandu diskusi, melakukan penyuluhan dari rumah ke rumah, dan berkampanye tentang kesehatan reproduksi. Dengan cara bicara sederhana namun tegas, ia mampu membuat warga mau mendengarkan.
Menembus Tantangan Sosial
Perjuangan Mama Yana tidak selalu mudah. Tantangan terbesar justru datang dari anggapan masyarakat sendiri. “Banyak yang takut ber-KB. Katanya nanti sakit, atau tidak bisa punya anak lagi. Bahkan dulu mertua saya sendiri keras menolak saya ber-KB,” kenangnya sambil tersenyum getir.
Namun Mama Yana tak gentar. Bersama kader lain, ia mendatangi pasangan usia subur dari rumah ke rumah, menyesuaikan waktu agar bisa bertemu dengan suami dan istri sekaligus. “Dulu, kalau kami datang, ada suami yang langsung pergi dari rumah. Sekarang, mereka malah ikut bicara dan mendukung istrinya,” katanya dengan bangga.
Kini, hampir semua pasangan usia subur di Desa Nobo sudah ber-KB. Sebuah perubahan besar yang ia sebut sebagai buah dari kesabaran dan kunjungan tanpa henti.
Salah satu pengalaman paling membekas adalah ketika ia harus menumpang truk pasir menuju rumah sepasang remaja yang baru menikah dan sudah melahirkan. Mereka juga pengungsi mandiri yang jaraknya cukup jauh jika ditempuh dengan jalan kaki. “Saya minta waktu bicara dengan keluarga mereka. Saya jelaskan pentingnya ber-KB karena istrinya masih terlalu muda. Akhirnya mereka sepakat ikut KB. Itu momen yang bikin saya merasa berhasil,” ujarnya haru.
Ada juga kisah lain yang tak kalah menyentuh. “Ada keluarga yang kehilangan anak kedua saat melahirkan. Saya beri konseling agar menunda kehamilan dulu. Setelah enam tahun, mereka berhenti ber-KB dan tak lama kemudian hamil lagi. Saya senang sekali, rasanya perjuangan saya tidak sia-sia,” katanya dengan mata berbinar.
Bagi Mama Yana, menjadi kader bukan sekadar pekerjaan sukarela, melainkan panggilan hati. Ia mengaku sering mendapat cibiran dari warga yang belum paham.
“Tapi saya simpan dalam hati. Kalau hari ini menolak, besok atau lusa saya datang lagi. Niat saya cuma satu: menolong mereka,” ujarnya mantap.
Kini setiap ibu hamil di Desa Nobo selalu ia kunjungi. “Setiap ketemu saya pesan, nanti setelah melahirkan ikut KB ya,” katanya sambil tertawa kecil. Data yang ia ingat menunjukkan hasil nyata: dalam enam tahun terakhir, lebih dari 160 ibu menggunakan implan, 23 memakai IUD, dan semakin banyak yang memilih KB pasca melahirkan.
Mama Yana bermimpi suatu saat di Desa Nobo tak ada lagi kehamilan remaja, dan semua ibu mengikuti KB pasca persalinan. Ia juga selalu berpesan kepada remaja agar menjaga pergaulan dan fokus pada cita-cita. Kepada orang tua, ia mengingatkan pentingnya kedekatan dengan anak-anak.
“Anak-anak itu adalah titipan. KB bukan untuk membatasi jumlah anak, tapi menjaga jarak kelahiran agar ibu sehat fisik dan mental,” katanya menutup percakapan.
Dari rumah darurat di tengah ladang berbatu, Mama Yana membuktikan bahwa kekuatan perubahan tak selalu datang dari gedung besar atau panggung resmi, melainkan dari hati seorang ibu yang tak kenal lelah menabur kebaikan.



