Di sejumlah desa di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, pengaruh keputusan laki-laki masih mendominasi apakah perempuan menggunakan kontrasepsi atau tidak. Selama tujuh tahun sebagai bidan desa di Ekateta, Bidan Ria Baik dengan gigih berusaha meruntuhkan dominasi patriarki ini.
Ia mengunjungi rumah-rumah dan menghadiri pertemuan-pertemuan masyarakat untuk memberikan edukasi tentang program Keluarga Berencana (KB). Seperti seorang sales door-to-door yang penuh dedikasi, ia dengan teguh meyakinkan para laki-laki untuk mendukung istri mereka dalam mengikuti program KB.
Bidan Ria mengungkapkan bahwa mitos adalah musuh terbesar dalam meyakinkan para suami untuk mendukung istri mereka menggunakan kontrasepsi. Banyak laki-laki lebih mempercayai mitos daripada fakta-fakta medis tentang metode kontrasepsi. Hal ini sangat disayangkan karena sebenarnya banyak istri yang ingin ber-KB.
“Kebanyakan (suami) mereka percaya bahwa ber-KB itu bisa ada penyakit. Ada yang bilang air susu (menjadi) kering, terus ada yang (bilang bisa menyebabkan) sakit tumor,” ujar Bidan Ria.
Berangkat dari sinilah, ia tak pernah bosan melakukan sosialisasi di Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) di desanya. Ia juga kerap mendatangi kegiatan bakti sosial untuk menyadarkan para laki-laki terkait dengan manfaat kontrasepsi dalam perencanaan kehamilan dan keluarga. Terkadang ia juga mendatangi gereja untuk penyadartahuan soal KB.
Dalam studi yang dilakukan oleh Yayasan IPAS Indonesia, salah satu tantangan terbesar di Kupang adalah menjangkau akseptor baru karena kurangnya informasi terkait dengan KB. Berdasarkan data pemerintah setempat, Tingkat Prevalensi KontrasepsiModern di sejumlah kabupaten tahun 2022 masih relatif rendah, berkisar antara 41,90% hingga 49,90%. Karena itu, sosok-sosok seperti Bidan Ria ini begitu penting untuk terus mensosialisasikan terkait dengan program KB.
Memang, kata Bidan Ria, sosialisasi yang dilakukan tidak dengan cepat mengubah persepsi laki-laki. Ini wajar, mengingat mitos-mitos tersebut sudah lama berakar di masyarakat. Meski begitu, sejumlah laki-laki mulai sadar untuk mendukung keputusan istrinya menggunakan kontrasepsi.
“Konseling kunjungan rumah suami istri, setelah konseling, ada yang mau (KB), ada yang tidak mau sama sekali,” ucapnya.
Tingkatkan kapasitas bidan melalui pelatihan
Peningkatan kapasitas bidan menjadi salah satu kunci penting untuk mendorong pencapaian program KB. Selain meningkatkan kemampuan teknis mereka, pelatihan ini juga bisa menambah kepercayaan diri saat memberikan layanan, termasuk konseling dan sosialisasi KB.
Bidan Ria merupakan salah satu dari bidan yang mengikuti pelatihan KB yang diselenggarakan oleh Yayasan IPAS Indonesia dalam periode Januari-Mei 2024. Ia menekankan, pelatihan ini bisa memberikan penyegaran setelah lulus dari studi kebidanan tujuh tahun lalu.
“Selama ini, setelah kuliah dan bekerja, kebanyakan kami pasang implan di kegiatan bakti sosial. Baru saya tahu bahwa sesuai prosedur ada pencegahan infeksi sebagai nakes. Sesudah pelatihan ini, kami lebih tahu prosedurnya. Pelatihan ini kami rasa bagus,” paparnya.
Ia menambahkan, pelatihan ini mampu mengingatkan kembali terkait dengan cara pemasangan metode kontrasepsi IUD (Intrauterine Device atau Kontrasepsi Dalam Rahim). “Setelah bekerja di Pustu (Puskesmas pembantu), pelayanan paling banyak implan. Sedangkan IUD tidak ada akseptor, jadi tidak pasang,” bebernya.
Dari materi yang didapatkan di pelatihan, ia bisa memberikan informasi terbaru yang akurat terkait dengan metode KB sesuai dengan kebutuhan perempuan. Akan tetapi, layanan ini juga harus didukung dengan tersedianya fasilitas, misalnya alat pencabutan kontrasepsi implan.
“Alat pencabutan implan (belum ada), harus antar ke puskesmas yang jaraknya jauh kalau ada pasien,” pungkasnya.