Pagi itu, 16 Juli 2025, jalanan menuju Kantor Kelurahan Sonorejo, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, terasa lenggang. Sonorejo, desa yang dikenal sebagai sentra kerajinan kulit, menjadi salah satu wilayah kerja proyek ARUNIKA (Perempuan Berdaya untuk Indonesia Bebas Kekerasan). Cuaca mulai panas saat saya tiba, dengan debu di halaman kantor kelurahan menandakan musim kemarau telah tiba. Namun, semangat peserta workshop pembentukan Layanan Berbasis Komunitas (LBK) tetap menyala di joglo depan kantor kelurahan.
LBK dibentuk sebagai upaya memperkuat sistem pengaduan dan pendampingan kasus kekerasan, khususnya kekerasan seksual. Tujuannya jelas: mendekatkan akses layanan bagi korban dan penyintas kekerasan di tingkat desa.
Workshop dibuka oleh Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan DPPKBP3A Kabupaten Sukoharjo, Budiarti Sri Rahayu, yang menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam penanganan kekerasan.

“Jadi, panjenengan [anda sekalian] adalah tangan panjang kami untuk memberikan layanan. Kabupaten Sukoharjo juga ada program Kecamatan Berdaya. Ini serupa dengan pembentukan LBK ini. Program ini selaras dengan Visi Gubernur Jawa Tengah. Ada lagi visi gubernur yang baru untuk membentuk kecamatan berdaya, harus membentuk empat kecamatan, dan pada akhir tahun semua harus terbentuk. Tujuannya adalah untuk memberikan layanan bagi korban kekerasan,” ujar Sri Rahayu.
Fasilitator kegiatan dari SPEK HAM, Rahayu Purwaningsih, menegaskan urgensi pembentukan LBK di setiap kelurahan atau desa. Menurutnya, selama ini informasi dan layanan pencegahan kekerasan hanya tersedia di tingkat kota atau provinsi, sehingga masyarakat desa kesulitan mengaksesnya.
Ketua LBK Sonorejo, Erlina, menyampaikan bahwa kasus kekerasan di wilayahnya belum tertangani dengan baik. Data tahun 2024 menunjukkan terdapat 116 kasus kekerasan di Kabupaten Sukoharjo, dengan 46 di antaranya merupakan kekerasan terhadap perempuan.
“LBK penting karena memang sudah ada beberapa kasus yang sudah pernah kita dampingi, dan ada beberapa kasus yang tidak terlapor tapi sebenarnya ada. Masyarakat Sonorejo sangat responsif untuk sesuatu yang baru termasuk LBK,” ujarnya.
Dalam workshop tersebut, struktur LBK mulai dibentuk, mulai dari ketua, sekretaris, hingga divisi-divisi untuk penerimaan, penanganan, dan rujukan kasus. Mereka juga menyusun rencana kerja awal, termasuk alur rujukan dan strategi sosialisasi program kepada masyarakat.

Pembentukan LBK ini adalah langkah awal. Masih banyak pekerjaan rumah untuk memastikan LBK mampu memberikan layanan yang efektif dan berkelanjutan. Komitmen yang telah dibangun perlu diperkuat dengan dukungan teknis, mentoring, monitoring, dan advokasi.
Pembelajaran penting dari proses ini adalah bahwa membangun akses layanan bagi korban kekerasan bukanlah proses instan. Diperlukan rangkaian kegiatan pendukung seperti diskusi, pelatihan, dan fasilitasi yang berkelanjutan. Koordinasi dan komunikasi dengan pihak-pihak terkait, seperti Dinas Pemberdayaan Perempuan dan pemerintah kelurahan, menjadi kunci agar LBK dapat berjalan sesuai harapan.
Ditulis oleh Purwantining Fitri Kawuri



