Dari Diskusi sampai Musrenbang: Perempuan Bicara Kesehatan Reproduksi di Kabupaten Kupang

Perempuan di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, tumbuh dengan nilai patriarki yang kuat. Sebagian besar keputusan dalam kehidupan sehari-hari ditentukan oleh kelompok laki-laki, termasuk dengan kesehatan reproduksi sekalipun. 

Mitra Yayasan IPAS Indonesia, Perkumpulan Keluarga Berencana (PKBI) NTT, untuk program TAKENUSA (Tekad Bersama untuk Kesehatan Perempuan Nusa Tenggara), mendorong agar perempuan turut terlibat dalam diskusi dan aktif dalam proses memutuskan terkait dengan isu kesehatan reproduksi. 

“Di sini, keputusan soal kesehatan seringkali mutlak di tangan laki-laki. Meski keputusannya salah, suara laki-laki tetap dianggap paling benar”, ujar Ardy Wio, Program Manager PKBI NTT.  

Untuk melibatkan perempuan, PKBI NTT mengajak perempuan terutama kader kesehatan masyarakat untuk membangun diskusi dengan tema terkait dengan kesehatan reproduksi, seperti gender, keluarga berencana, persalinan, dan Asuhan Pasca Keguguran (APK). Biasanya aktivitas ini dilakukan secara rutin setiap bulan di empat desa dampingan TAKENUSA. Selain kader, diskusi ini juga melibatkan aparat desa, tokoh masyarakat dan tokoh agama. 

Ibaratnya, diskusi-diskusi tersebut merupakan ruang-ruang kelas untuk memperkuat kader betapa pentingnya melibatkan perempuan dalam menyuarakan isu kesehatan reproduksi. Dari sejumlah diskusi yang dilakukan, Ardi menyadari kader perempuan perlu menyampaikan isu tersebut melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di level desa. 

“PKBI melihat musrenbangdes masih memprioritaskan pembangunan fisik. Dari empat desa dampingan TAKENUSA, tidak ada isu kesehatan reproduksi yang dibawa ke Musrenbang”, tegas Ardy.

Diskusi terkait dengan kesehatan reproduksi. Foto oleh PKBI NTT.

Akses pembiayaan USG gratis dan transportasi rujukan

Ardi menyebutkan, ada dua kader perempuan aktif dari Desa Oeteta yang terlibat aktif menyampaikan isu kesehatan reproduksi dalam musrenbangdes. “Mereka terus bicara, terus melawan pendapat yang kurang sepakat tentang isu kespro,” kenang Ardi. 

Bahkan, Ardi menambahkan, ada kader yang menggunakan forum gereja untuk mendorong pentingnya alokasi anggaran layanan ibu hamil. Sebagai konteks, di Oeteta tidak ada ambulance untuk transportasi rujukan desa ke fasilitas kesehatan.

“Berkat kegigihan dan ketekunan mereka dalam Musrenbang, Pemerintah Desa Oeteta berhasil mengalokasikan sekitar Rp 5–7 juta per tahun  atau 3% dari total anggaran di APBDes 2025, yang dianggarkan pada bidang penanggulangan bencana dan darurat, untuk pembiayaan USG gratis dan transportasi rujukan”, ceritanya. 

Dukungan untuk biaya transportasi persalinan 

Ardi menambahkan, di Desa Ekateta, biaya transportasi dari desa ke fasilitas kesehatan menjadi tantangan utama karena mahalnya biaya. Dalam satu kali jalan, warga ibu hamil yang akan melahirkan harus membayar sekitar Rp 500-700 ribu. Isu inilah yang kerap disampaikan oleh kader dari desa tersebut. 

“Waktu Musrenbangdes, kader di Ekateta mendekati pihak-pihak yang berpengaruh untuk memastikan mekanisme reimbursement. Jadi sekarang, warga tidak harus menanggung biaya oto (mobil) yang mahal itu karena Pemerintah Desa telah menganggarkan dukungan sebesar Rp 200 ribu dari anggaran bidang kesehatan”, imbuhnya. 

Bagi Ardi, salah satu kunci mendorong perempuan untuk berpartisipasi dalam forum desa adalah dengan meningkatkan kemampuan komunikasi yang mereka miliki. Strategi komunikasi yang baik berpeluang menghasilkan kolaborasi dan capaian yang baik.  Karena keberhasilan bukan soal seberapa banyak desa yang berubah, tapi seberapa kuat suara perempuan didengar. 

“Mulai dari bicara regulasi dana desa dan melihat peluang lewat komunikasi dengan pemerintah desa, suara perempuan mampu didengarkan dan diterima. Buat saya, itu dampak paling besar—ketika perempuan tidak hanya dilibatkan, tapi dipercaya menjadi bagian dari pengambilan keputusan”, tutup Ardy. 

Gulir ke Atas