Peran bidan menjadi salah satu kontribusi penting dalam layanan kesehatan reproduksi, terutama di Daerah Tertinggal, Perbatasan, Kepulauan (DTPK) di Indonesia. Mereka bukan hanya membantu persalinan, tetapi juga menjadi penyedia layanan untuk kontrasepsi, bahkan menjadi salah satu pintu masuk laporan kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan. Banyak perempuan memilih mengakses layanan kesehatan reproduksi melalui bidan, karena di banyak daerah, jarak ke fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit cukup jauh. Oleh karena itu, penting untuk memastikan layanan kebidanan yang berkualitas agar mampu untuk mendukung perempuan lebih berdaya dan bisa mengambil keputusan atas tubuhnya sendiri.
Salah satu prinsip utama dalam layanan kebidanan untuk mendukung pilihan reproduksi perempuan dilakukan melalui pendekatan Respectful Midwifery Care (RMC). Apa sebenarnya makna dari pendekatan ini? Mengapa RMC penting dalam diskusi layanan kesehatan reproduksi? Mari kita berbincang dengan ahli sekaligus bidan Jamilatus Sa’diyah atau yang akrab disapa dengan Bidan Mila. Diskusi ini dipandu oleh Staf Kebijakan dan Advokasi Yayasan IPAS Indonesia, Ignatia Glory, alias Igna.
Igna: Apa yang dimaksud dengan Respectful Midwifery Care (RMC) dan mengapa pendekatan ini penting dilakukan oleh bidan ?
Bidan Mila: Respectful Midwifery Care adalah layanan yang bermartabat, bermanusiawi, menghargai. Intinya women-centered, bidan harus memberdayakan perempuan sehingga mereka bisa memutuskan layanan kesehatan reproduksi yang sesuai kebutuhannya. Contoh kalau pasien datang ke bidan mau pasang KB, maka bidan perlu benar-benar bisa menjelaskan dengan detail mengenai apa saja benefit, efek samping, keterbatasan,dan kelebihannya. Berikan informasi yang lengkap, biarkan pasien yang memegang kendali atas keputusannya. Pendekatan ini penting dilakukan bidan karena layanan kebidanan seharusnya tidak hanya berfokus pada prosedur medis saja, tapi juga menghargai otonomi tubuh dan kesejahteraan perempuan.
Igna: Bagaimana wujud konkret menghargai hak otonomi tubuh perempuan?
Bidan Mila: Intinya menghargai pilihan perempuan. Perempuan memiliki hak penuh untuk memilih kontrasepsi apa yang ingin ia gunakan, kapan ia ingin hamil, atau bagaimana ia ingin melahirkan dan keputusan itu tidak boleh diambil alih oleh bidan, suami, atau keluarga Edukasi harus dilakukN dengan bahasa empatik, bukan menyalahkan. Misalnya setelah edukasi KB, pasien memilih untuk IUD atau spiral saja, maka kita hormati keputusannya, bukan malah mengomentari “Ibu anaknya udah 5 masa cuma pakai IUD, kalau kayak gini mah steril aja”. Kita harus menciptakan layanan yang membuat perempuan merasa aman dan nyaman. Penting juga bagi bidan untuk meminta dan mendapatkan persetujuan sebelum tindakan, bahkan untuk hal yang sederhana seperti mau membuka selimut pasien. Jangan asal “Bu, buka selimutnya dong!”, tapi jelaskan prosedur yang mau dilakukan. Dengan otonomi yang dihargai, perempuan akan lebih siap menjalani proses reproduksinya.
Igna: dalam dunia yang ideal, tentu semua keputusan bisa diambil oleh perempuan sendiri. Namun kenyataannya, ada situasi yang dikenal sebagai reproductive coercion (pemaksaan reproduksi)? Mengapa hal ini bisa terjadi?
Bidan Mila: Pemaksaan reproduksi adalah segala bentuk tekanan, kontrol, atau tindakan yang menghilangkan hak perempuan untuk mengatur tubuh dan keputusan reproduksinya. Contohnya seperti pemasangan kontrasepsi tanpa persetujuan pasien. Ada kasus IUD dipasang diam-diam setelah persalinan, dan perempuan baru mengetahui keberadaannya setelah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Itu jelas bentuk kekerasan. Contoh lainnya adalah ketika perempuan ingin menggunakan kontrasepsi tetapi pasangannya melarang. Pemaksaan reproduksi terjadi karena kombinasi kuat antara budaya patriarki, tekanan sosial, stigma agama, dan regulasi yang membatasi.
Igna: Jika perempuan ingin pasang kontrasepsi tapi pasangannya menolak, bagaimana prinsip RMC diterapkan dalam kondisi seperti ini?
Bidan Mila: Tentu kita harus tetap mendengarkan perempuan dan memberdayakan dia melalui informasi yang jelas. Lalu, jika memungkinkan dan aman, bidan bisa mengajak pasangan berdiskusi dengan pendekatan empatik, bukan untuk memojokkan suami, tetapi membantu mereka memahami bahwa kesehatan ibu dan anak juga merupakan tanggung jawab bersama. Dalam beberapa kasus, edukasi yang baik membuat pasangan lebih memahami. Namun kita juga harus realistis: ada situasi di mana diskusi dapat memicu konflik atau bahkan kekerasan. Dalam kondisi seperti itu, keselamatan perempuan menjadi prioritas utama, dan bidan perlu memberi dukungan yang lebih hati-hati serta memastikan akses ke layanan yang tidak membahayakan. Regulasi yang mewajibkan persetujuan suami sering kali membuat bidan dilematis, karena meski ingin membantu perempuan, mereka takut menghadapi sanksi atau ancaman dari keluarga. Karena itu reformasi kebijakan sangat diperlukan.
Igna: Melihat dinamika sosial budaya, tanggung jawab kontrasepsi ada di siapa?
Bidan Mila: Tanggung jawab kontrasepsi idealnya dimiliki bersama oleh kedua pasangan. Sayangnya, secara sosial beban ini hampir selalu jatuh pada perempuan. Padahal ada banyak metode KB untuk laki-laki mulai dari kondom hingga vasektomi, yang secara risiko jauh lebih rendah dibandingkan KB hormonal perempuan. Saya bahkan bercerita bahwa di keluarga saya, suami saya yang memakai KB karena ia tahu saya sudah berjuang melewati kehamilan, persalinan, dan menyusui. Laki-laki perlu lebih terlibat, bukan untuk mengambil alih keputusan, tetapi untuk berbagi beban dan mendukung kesehatan reproduksi pasangannya.
Ingin mendengarkan lebih lanjut diskusi mengenai Respectful Midwifery Care? Kamu bisa menyimak selengkapnya melalui rekaman Instagram Live dalam tautan di bawah ini.

Setiap bulannya, Yayasan IPAS Indonesia mengadakan diskusi terkait dengan topik keadilan reproduksi, gender, dan isu perempuan dalam Instagram Live. Kamu bisa mengikuti Instagram Yayasan IPAS Indonesia untuk tahu lebih lanjut.



