Di sebuah desa di Nusa Tenggara Timur, Indonesia, Mama Odiana Nuban yang berusia 27 tahun terkejut mengetahui bahwa ia kembali hamil hanya lima bulan setelah melahirkan anak pertamanya. Kehamilan tersebut tidak direncanakan karena ia harus menunggu persetujuan dari suaminya untuk menggunakan kontrasepsi. Ketika keputusan akhirnya dibuat, sudah terlambat.
Kisah Mama Odiana bukanlah hal yang unik. Di banyak wilayah di Indonesia bagian timur, norma patriarki yang kuat membuat perempuan harus meminta izin dari suami, bahkan terkadang dari mertua, sebelum mengakses layanan kesehatan reproduksi. Pola ini juga ditemukan dalam asesmen awal IPAS Indonesia yang dilakukan pada tahun 2023.
Dinamika budaya ini berkontribusi besar terhadap tingginya angka kebutuhan yang tidak terpenuhi untuk keluarga berencana di Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), angka unmet need untuk KB pada tahun 2023 mencapai 11,5%. Sementara itu, di Provinsi Nusa Tenggara Timur, angkanya mencapai 25,3%.
“Aku ingin menggunakan kontrasepsi,” kata Mama Odiana, “tapi aku menunggu [keputusan suami]. Aku pikir bisa mulai saat bayiku berusia enam bulan. Tapi aku sudah hamil lagi saat dia baru lima bulan.”
Untuk mengatasi tantangan ini, Yayasan IPAS Indonesia meluncurkan Proyek TAKENUSA (Komitmen Bersama untuk Perempuan Nusa Tenggara) pada tahun 2023. Inisiatif ini berfokus pada perluasan akses kesehatan reproduksi seperti keluarga berencana di daerah pedesaan di tiga kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Melalui serangkaian dialog komunitas yang dipimpin oleh kader kesehatan masyarakat terlatih, TAKENUSA memfasilitasi kelompok laki-laki untuk belajar tentang keluarga berencana, bertanya, dan merefleksikan peran mereka dalam mendukung kesehatan dan pilihan pasangan mereka. Sejak diluncurkan, proyek ini telah memfasilitasi diskusi di 14 desa dan menjangkau lebih dari 1.375 laki-laki. Sesi-sesi ini melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para suami.
Yane Beis, seorang kader yang terlibat dalam proyek ini, menjelaskan, “Awalnya banyak laki-laki menolak. Mereka bilang kami tidak seharusnya ikut campur urusan rumah tangga mereka. Tapi kami terus berbicara dengan mereka, mengingatkan bahwa perempuanlah yang mengandung, yang merasakan sakit saat melahirkan. Akhirnya mereka mendengarkan. Banyak yang mulai mendukung istri mereka untuk menggunakan kontrasepsi.”

Kader sedang berdiskusi terkait dengan kontrasepsi. Foto oleh Yayasan CIS Timor.
Salah satu laki-laki tersebut adalah Papa Noh Boimau, suami Mama Odiana. Setelah menghadiri sesi komunitas, ia belajar tentang berbagai pilihan kontrasepsi dan mengubah pandangannya. Papa Noh mendengar tentang keluarga berencana di Posyandu. Setelah berbincang dengan istrinya dan belajar lebih banyak tentang KB, Papa Noh memutuskan untuk mendukung istrinya menggunakan kontrasepsi guna mencegah kehamilan yang tidak direncanakan.
Setelah mengikuti sesi komunitas, Papa Noh merenungkan pentingnya tanggung jawab bersama dalam membangun keluarga yang sehat. Sesi tersebut membantunya memahami bahwa kesehatan reproduksi bukan hanya soal obat, tetapi juga tentang mendengarkan, saling menghormati, dan membuat keputusan bersama.
Proyek ini juga bekerja sama dengan bidan untuk memberikan layanan KB yang berkualitas tinggi. IPAS Indonesia telah melatih 90 bidan dari Desember 2023 hingga Mei 2024. “Kami dilatih dari dasar-dasar konseling, seperti bagaimana membimbing perempuan hingga mereka bisa membuat keputusan sendiri. Setelah mereka memutuskan, barulah kami memberikan layanan,” kata bidan Tecla.
Karena budaya patriarki yang kuat, ia juga melibatkan suami dalam konseling. Pendekatan ini memastikan bahwa kedua pasangan menerima informasi yang akurat dan dapat membuat keputusan bersama. “Dalam budaya kami, laki-laki sering menjadi pengambil keputusan,” jelas Tecla. “Itulah mengapa penting untuk melibatkan mereka dalam konseling, agar perempuan tidak perlu menunggu izin untuk melindungi kesehatannya.”



