Perempuan Merdeka Memilih Kontrasepsi: Cerita dari Mama Mershi di Nusa Tenggara Timur  

Mama Mershi Benu (36) memutuskan memilih kontrasepsi mantap atau tubektomi setelah melahirkan anak kelimanya. Sebelumnya, ia menggunakan kontrasepsi suntik lalu beralih ke pil. Hingga kemudian akhirnya memilih kontrasepsi jenis permanen karena ‘kebobolan’ setelah melahirkan anak keempat. Keputusan ini bukanlah sekedar tentang jenis metode kontrasepsi, melainkan bagaimana seorang perempuan merdeka dalam memilih dan merencanakan keluarga.  

Mama Mershi merupakan seorang ibu rumah tangga, guru PAUD sekaligus kader posyandu di Desa Bena, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Dalam kesehariannya, ia mengurus kelima anaknya di rumah serta mengajar anak-anak.  

“Sejak 2015 saya menjadi kader posyandu. Setiap bulan ke posyandu menimbang anak-anak. Mengukur lingkar kepala lengan, menimbang berat badan anak,” ujar Mama Mershi.  

Melalui kegiatan di posyandu,  ia juga kerap mendorong agar perempuan agar menjaga kesehatan reproduksinya. Salah satu diantaranya adalah motivasi perempuan agar melahirkan di Puskesmas termasuk soal jenis kontrasepsi. 

“Setelah ikut kegiatan Yayasan IPAS Indonesia, kita mulai berbicara jauh tentang alat reproduksi, dulu kan ngomong reproduksi tabu, setelah ada kegiatan Yayasan IPAS Indonesia, kita sudah tidak tabu lagi, sudah bisa omong di depan publik,” imbuhnya.  

Bagi Mama Mershi sendiri, pengalaman pemilihan kontrasepsi sangatlah personal. “Waktu anak pertama itu [memakai] suntik tiga bulan sekali. Saya ganti dengan pil. Terus empat tahun, hamil lagi anak kedua. Itu waktu anak ketiga dan keempat itu minum pil, tidak tahu bagaimana, mungkin terlambat minum hamil,” kenangnya.  

Ia mengungkapkan, ketika metode kontrasepsinya gagal, suaminya senang karena bisa menambah jumlah anak. “Kebetulan anak pertama perempuan, kedua dan ketiga laki-laki, yang kelima ini perempuan,” tegasnya.  

Pengalaman itulah yang mendorong dirinya untuk memilih tubektomi (kontrasepsi permanen). Ia kemudian mendiskusikan dengan suaminya terkait keputusan itu. “Sepakat dengan suami, ini anak kelima anak yang terakhir, biar steril saja. Dia setuju karena kami semua bekerja, kebetulan saya guru PAUD juga jadi ribet urus anak, jadi setuju,” ungkapnya.  

Ia menambahkan, ia tahu berbagai macam metode kontrasepsi, termasuk tubektomi, dari kegiatan Yayasan IPAS Indonesia. Salah satu di antaranya adalah  diskusi tematik yang diselenggarakan oleh mitra Yayasan IPAS Indonesia, Yayasan CIS Timor.  

“Waktu hamil, saya ikut kegiatannya IPAS di kantor Balai Desa, ada penjelasan tentang jenis-jenis KB, makanya saya memilih untuk steril,” kenangnya.  

Ia kemudian mengkomunikasikan pilihannya tersebut saat melahirkan di rumah sakit ibu dan anak di Kupang pada Maret 2024. “Kebetulan saya minta caesar, jadi langsung disteril. Untuk biaya ditanggung BPJS,” ucapnya.  

Yayasan IPAS Indonesia, sebagai Mitra untuk Keadilan Reproduksi, ingin melihat lebih banyak perempuan lain seperti Mama Mershi. Perempuan yang tahu dan mampu memutuskan pilihan kesehatan reproduksinya sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. Kemudian, keputusannya tersebut didukung dan hak tersebut bisa diakses.  

Di Nusa Tenggara Timur, Yayasan IPAS Indonesia bekerja sama dengan pemerintah, mitra lokal dan masyarakat, untuk mewujudkan Keadilan Reproduksi melalui Proyek TAKENUSA (Tekad Bersama untuk Kesehatan Perempuan Nusa Tenggara). Proyek TAKENUSA bertujuan untuk menurunkan Angka Kematian Ibu dan meningkatkan akses keluarga berencana.  

Gulir ke Atas