Saatnya Laki-laki Terlibat dalam Mencapai Keadilan Reproduksi


Ditulis oleh Marindah Putri, Pemenang Lomba Menulis Keadilan Reproduksi Yayasan IPAS Indonesia


“Saya kalau pakai KB sakit Kak, rasanya pusing, mual, bahkan sampai muntah” ujar Mba Isma (nama samaran).
Mba Isma, adalah seorang ibu dari dua orang anak, berprofesi sebagai ibu rumah tangga, “….tapi saya paksa soalnya gak boleh lepas KB sama suami”.


Mba Isma akhirnya memutuskan berhenti suntik KB, kemudian ia melahirkan dua buah hati, sehingga jumlah anak Mba Isma menjadi empat orang anak.
“Kak, saya abis diomelin suami, katanya, jadi istri kok gak bisa jaga biar gak sampe hamil” Mba Isma bercerita kepada saya, “ ….sekarang, saya jadi pakai KB lagi Kak”.


Mba Isma memutuskan menggunakan KB kembali, namun tidak lama kemudian ia divonis kanker payudara, pasca beberapa bulan kelahiran anak ke-empat. Setelah beberapa tahun berjuang melawan kanker, Mba Isma kini sudah beristirahat dengan tenang selamanya.


Kisah Mba Isma merupakan satu dari banyaknya kejadian kekerasan reproduksi yang dialami perempuan. Kekerasan reproduksi merupakan bagian dari kekerasan berbasis gender, perempuan seringkali mengalami ketidakadilan dalam menentukan kesehatan reproduksinya. Budaya patriarki yang masih mengakar kuat di masyarakat, menempatkan perempuan sebagai pihak yang dibebankan mengontrol kehamilan dan kelahiran bayi. Alat kontrasepsi lebih banyak dibuat untuk perempuan, sehingga pengguna kontrasepsi masih didominasi oleh kaum perempuan.


Berdasarkan data dari BKKBN dari total peserta KB modern, jumlah perempuan yang melakukan tubektomi sebesar 856.550 peserta, sedangkan laki-laki yang melakukan vasektomi hanya 36.386 peserta. Berdasarkan jurnal Global Health: Science and Practice, kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam penggunaan kontrasepsi permanen semakin tinggi.

Bahkan secara global penggunaan vasektomi menurun drastis, padahal secara aspek medis vasektomi jauh lebih sederhana dan aman dibandingkan tubektomi. Stereotip gender yang ada di masyarakat menganggap perempuan yang memiliki kodrat hamil dan melahirkan, maka perempuan harus lebih peduli tentang urusan kontrasepsi dibandingkan laki-laki. Konstruksi maskulinitas menilai bahwa laki-laki yang memiliki kendali dalam berhubungan seksual dan yang memutuskan jumlah anak. Laki-laki juga enggan menggunakan KB karena nila-nilai maskulinitas yang mereka yakini.


Pola hubungan hirarkis antara suami dan istri menghasilkan keputusan dan hak kesehatan reproduksi tidak dibuat secara adil dan setara. Membahas keadilan reproduksi bukan persoalan biologis semata, melainkan juga perlu memahami adanya relasi kuasa, norma gender tradisional yang destruktif, budaya patriarki, yang mengakibatkan munculnya kebijakan dan aturan diskriminatif yang tidak adil bagi perempuan.


Keadilan reproduksi menekankan pentingnya prinsip hak individu untuk memilih memiliki atau tidak memiliki anak tanpa paksaan dan hambatan struktural. Akses terhadap informasi dan sumber daya untuk mencapai kebebasan hak memilih tersebut perlu diperhatikan, salah satunya adalah akses informasi terhadap pendidikan seksual yang komprehensif. Keadilan reproduksi sulit dicapai tanpa pendidikan seksual komprehensif, keduanya berkaitan untuk memastikan setiap individu memahami hak, akses, dan informasi yang diperlukan untuk memutuskan secara sadar terkait kesehatan reproduksi dan seksualnya.


Diperlukan kerangka kerja untuk melakukan sosialisasi dan diseminasi program pendidikan seksual komprehensif, sebagai langkah preventif terhadap kekerasan seksual dan reproduksi. Sejak di sekolah pendidikan seksual hanya difokuskan kepada perempuan, dan mengecualikan laki-laki. Pendidikan seksual biasanya hanya berfokus pada materi organ tubuh dan alat reproduksi. Pendidikan seksual komprehensif di Indonesia perlu menekankan pemahaman ideologi gender, kerap kali ideologi gender belum dipertimbangkan secara substantif dalam pendidikan kesehatan seksual.


Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa program pendidikan seksual komprehensif yang membahas materi tentang gender lebih efektif dan memiliki dampak positif. Menekankan kontekstualisasi pengalaman individu tentang persepsi maskulinitas dan feminitas, refl eksi pengalaman terhadap stereotip gender, dan konsekuensi bias gender akibat norma dan nilai di masyarakat. Pemahaman ini juga perlu dipadukan dengan pendekatan HAM, kesetaraan gender, serta transformasi peran gender. Pendekatan transformasi gender dalam pendidikan seksual komprehensif, bertujuan mengeksplorasi keterlibatan laki-laki untuk mengubah konstruksi maskulinitas di level interpersonal.

Pendekatan ini berupaya menciptakan hubungan yang lebih adil gender. Perempuan dan laki-laki perlu akses informasi yang memadai mengenai penggunaan kontrasepsi, anggapan bahwa laki-laki tidak perlu menggunakan kontrasepsi perlu diakhiri melalui edukasi maskulinitas positif. Laki-laki harus mempelajari metode kontrasepsi, memastikan kontrasepsi yang digunakan istri aman dan tidak menimbulkan efek samping yang berbahaya, selain itu laki-laki juga bersedia menggunakan alat kontrasepsi ataupun melakukan metode sterilisasi. Laki-laki tidak lagi terpaku pada norma tradisional yang destruktif dan merugikan, mereka memahami bahwa perempuan memiliki hak atas tubuhnya, sehingga keputusan memiliki anak, jumlah anak, dan jarak kelahiran merupakan keputusan yang dibuat bersama perempuan secara adil. Perempuan berhak menjalani pengalaman reproduksinya dalam keadaan sehat fi sik dan mental, dengan layanan kesehatan yang memadai, serta anak yang dilahirkan berhak tumbuh kembang di lingkungan yang sehat dan aman.


Rerefensi


Claussen, C. (2018). Men engaging boys in healthy masculinity through school-based sexual health education. Sex Education. https://doi.org/10.1080/14681811.2018.1506914


Fitriani, A. (2016). Peran perempuan dalam penggunaan alat kontrasepsi. Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, 29(3), 121-132.
Goldfarb, E. S., & Lieberman, L. D. (2021). Three decades of research: The case for comprehensive sex education. Journal of Adolescent Health, 68, 13-27. https://doi.org/10.1016/j.jadohealth.2020.07.036


Gupta, G. R. (2000). Gender, sexuality, and HIV/AIDS: The what, the why, and the how. Durban, South Africa: International Center for Research on Women (ICRW).


Jacobstein, R., et al. (2023). Down but not out: Vasectomy is faring poorly almost everywhere—We can do better to make it a true method option. Global Health: Science and Practice, 11(1), e2200369. https://doi.org/10.9745/GHSP-D-22-00369


Leiva, L., Torres-Cortés, B., Antivilo-Bruna, A., et al. (2024). Gender-transformative school-based sexual health intervention: Study protocol for a randomized controlled trial. Trials, 25, 360. https://doi.org/10.1186/s13063-024-08191-w


PKBI. (n.d.). 7 komponen pendidikan seksualitas komprehensif. Retrieved from https://pkbi.or.id/7-komponen-pendidikan-seksualitas-komprehensif/
Ross, L. J., & Solinger, R. (2017). Reproductive justice: An introduction. Oakland, CA: University of California Press.


Sell, K., Oliver, K., & Meiksin, R. (2023). Comprehensive sex education addressing gender and power: A systematic review to investigate implementation and mechanisms of impact. Sex Research and Social Policy, 20, 58-74. https://doi.org/10.1007/s13178-021-00674-8


Tim BKKBN. (2024). Jumlah peserta KB menurut metode kontrasepsi modern pemutakhiran pendataan keluarga 2024. Retrieved from https://portalpk.bkkbn.go.id/tabulasi/IKB/Tabel10

Gulir ke Atas