Selama tiga hari penuh, dari 22 hingga 24 Oktober 2025, sebanyak 100 kader dari empat desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur, berkumpul di Niki-niki dalam sebuah kegiatan jambore. Kegiatan ini bukan sekadar pertemuan, melainkan sebuah ruang hidup untuk berbagi pengalaman, memperkuat kapasitas, dan merayakan perjuangan para kader dalam memperluas akses layanan kesehatan reproduksi di komunitas mereka.
Jambore ini merupakan bagian dari proyek TAKENUSA (Tekad Bersama untuk Kesehatan Perempuan Nusa Tenggara), yang diinisiasi oleh Yayasan IPAS Indonesia bersama mitra Yayasan CIS Timor. Sejak diluncurkan pada tahun 2023, proyek ini berfokus pada peningkatan akses terhadap dua isu krusial dalam kesehatan reproduksi: layanan kontrasepsi dan asuhan pasca keguguran.
Melalui sesi diskusi interaktif dan talkshow inspiratif, para kader membagikan kisah nyata perjuangan mereka, mulai dari menghadapi stigma sosial, membangun kepercayaan di tengah budaya patriarki yang kuat, hingga mendorong kelompok remaja.

Dari Rumah ke Tempat Ibadah
Mama Marselina Meli, seorang kader sekaligus majelis gereja, membagikan pendekatannya yang unik dalam menyampaikan informasi tentang keluarga berencana. Ia memanfaatkan momen kebersamaan di gereja untuk berdialog santai dengan jemaat.
“Untuk mendekati masyarakat, saya seorang majelis gereja kadang-kadang sambil pimpin ibadat, sambil tunggu jemaat-jemaat yang lain, kami saling bercerita. Habis itu mereka tanya soal keluarga berencana (KB),” kenangnya.
Dengan perspektif ekonomi, Mama Meli menjelaskan pentingnya KB di tengah naiknya harga kebutuhan pokok dan terbatasnya pemasukan di desa.
“Sementara kebutuhan anak-anak semakin hari semakin menuntut, jangankan kebutuhan anak-anak, kebutuhan dalam rumah tangga untuk makan naik,” tegasnya.
Tantangan dari Dalam Rumah

Bagi Mama Meriani Tefnai, tantangan terbesar justru datang dari rumah sendiri. Ia menghadapi komentar dari suami terkait peran domestik saat mulai aktif sebagai kader.
“Tantangan itu justru ada dari dalam sendiri. Jadi ini menjadi pembelajaran, waktu kita merekrut kader, kalau kader itu perempuan, kita juga harus mendekati suami-suaminya. Baik kalau suami pengertian, kalau suami itu cemburu, ya kita repot,” tegasnya.
Bergerak Bersama Kelompok Remaja
Tak hanya perempuan dewasa, para kader juga menyasar kelompok remaja baik perempuan maupun laki-laki, yang masih minim pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Isu kehamilan tidak direncanakan dan perkawinan anak menjadi perhatian utama.
Kader Nondi Lopo dari Desa Lanu menyoroti pentingnya dukungan pemerintah desa dalam menyelenggarakan sosialisasi rutin.
“Biasanya seringkali tiga bulan sekali ada penyuluhan kesehatan reproduksi kepada remaja di sekolah. Kemudian ada penyuluhan juga dari kader posyandu setiap bulan di pos masing-masing,” ujarnya.

Sebagai guru, Nondi juga menjadikan sekolah sebagai ruang strategis untuk edukasi. “Jadi untuk anak-anak yang ada setiap hari saya bersama dengan mereka dan terus selalu mengingatkan kepada mereka dan itupun juga saya sering konsultasi dengan bapak kepala sekolah semua dewan-dewan guru yang ada untuk setelah pembelajaran,” ungkapnya.
Jambore ini menjadi ruang aman untuk saling menguatkan, belajar dari pengalaman, dan membangun solidaritas lintas desa. Di tengah budaya patriarki yang masih kuat, para kader menunjukkan bahwa perubahan bisa dimulai dari ruang-ruang kecil, dari rumah, gereja, sekolah, hingga posyandu.



