Pada 2024, sebanyak 1.349 anak-anak di Jawa Tengah menjadi korban kekerasan. Dari angka tersebut, kekerasan seksual merupakan jenis kekerasan yang paling tinggi, yakni 746 kasus. Secara nasional, Jawa Tengah menjadi provinsi ketiga dengan kasus kekerasan terhadap anak paling tinggi.
Angka-angka itulah yang mendorong Pilar PKBI Jawa Tengah untuk membuat sebuah inisiatif bernama Health Rangers. Inisiatif ini diharapkan bisa mengubah pengetahuan remaja di tiga kabupaten di Jawa Tengah (Kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, dan Kabupaten Semarang) agar tahu apa itu kekerasan, bagaimana mencegahnya dan jika terjadi tahu bagaimana mengakses layanan.
Project Officer Pilar PKBI Jawa Tengah Anis Sapitri mengatakan, sebanyak 30 remaja dari berbagai komunitas mulai dari membaca, agama, orang muda termasuk kelompok disabilitas, telah bergabung dalam inisiatif ini. Untuk menjadi bagian dari Health Rangers, para remaja diseleksi mulai dari administrasi hingga wawancara. Meski begitu, Anis menegaskan, remaja dari komunitas yang belum sama sekali terpapar dengan informasi kekerasan dan informasi kesehatan reproduksi dasar yang menjadi prioritas.

“Health Rangers ini sebetulnya sebutan bagi champion remaja usia 15-24. Ada 66 nama [peserta yang daftar], tapi kami memilih 30 di tiga kabupaten. Dari 30 itu, per kabupaten ada 10. Tetapi, untuk laki-laki ada tujuh, kemudian 23 merupakan remaja perempuan,” ujar Anis.
Pelatihan Health Rangers telah diadakan pada 29-31 Mei 2025 di Kantor PKBI Jawa Tengah di Semarang. Materi yang dibahas di antaranya adalah berkaitan dengan isu otonomi tubuh, persetujuan, kekerasan termasuk kekerasan seksual, dan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Karena berdasarkan pengalaman kita berproses melalui Health Rangers, remaja itu tidak mendapatkan haknya, salah satu haknya mengenai informasi kekerasan, kekerasan berbasis gender dan seksual serta kesehatan reproduksi. Karena ketidaktahuan soal hak-hak ini, menjadi penyebab remaja mengalami kekerasan,” tegas Anis.
Materi yang tak kalah penting dari pelatihan ini adalah bagaimana menjadi fasilitator. Karena masing-masing health rangers diharapkan bisa membagikan materi tersebut kepada komunitas usai mengikuti pelatihan. Materi pelatihan ini menggunakan modul yang telah disusun oleh tim Pilar.
“Kalau dari proses pelatihan, sangat beragam. Ada yang sudah tahu soal kesehatan reproduksi. Tetapi banyak yang tahu terkait kesehatan reproduksi dasar. Terutama kekerasan seksual, di situ mereka belum banyak tahu,” imbuhnya.

Anis menegaskan, setelah pelatihan ini akan ada sesi daring untuk mendampingi dan meningkatkan kapasitas peserta sebagai fasilitator ke komunitas masing-masing. Bahkan staf Pilar juga akan melakukan coaching dan mendampingi peserta hingga Oktober 2025.
“Tantangannya, usai peserta itu ada yang di bawah 18 tahun. Jadi ada pendampingan untuk edukasi soal perizinan, informed consent harus izin orang tua. Lalu, akses lokasi komunitas yang sulit dijangkau, akses lokasi Kabupaten Semarang itu wilayahnya lumayan susah,” imbuhnya.
Anis mencatat, salah satu pembelajaran yang penting dari inisiatif ini adalah terkait dengan modul yang digunakan. Misalnya, kelompok disabilitas kurang bisa menggunakan modul tersebut meski Pilar telah menggunakan juru bahasa isyarat untuk sejumlah tes. Hal ini menjadi catatan Pilar PKBI untuk mengembangkan sesuai dengan kebutuhan kelompok disabilitas.
Health Rangers merupakan bagian dari program ARUNIKA (Perempuan Berdaya untuk Indonesia Bebas Kekerasan) Yayasan IPAS Indonesia yang didukung oleh Pemerintah Kanada. Program ini dijalankan di Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Semarang, dan Kota Surakarta dengan tujuan untuk meningkatkan akses layanan bagi korban kekerasan yang komprehensif dan holistik.