Pintu Awal Menuju Layanan yang Berpihak pada Korban: Penyusunan SOP Layanan Kekerasan di UPTD PPA Sukoharjo

Mei 2025 menjadi tonggak penting bagi Kabupaten Sukoharjo dengan terbentuknya Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). Pembentukan ini merupakan amanat dari Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang mewajibkan setiap daerah memiliki UPTD paling lambat tiga tahun setelah UU tersebut disahkan pada Mei 2022.

Setelah UPTD terbentuk, tugas penting selanjutnya adalah untuk memastikan bahwa layanan yang diberikan benar-benar berpihak pada korban sesuai dengan mandat UU TPKS. Di sinilah peran Standar Operasional Prosedur (SOP) menjadi krusial.

Melalui proyek ARUNIKA (Perempuan Berdaya untuk Indonesia Bebas Kekerasan) di Jawa Tengah, Yayasan IPAS Indonesia bermitra dengan berbagai pihak untuk mewujudkan layanan kekerasan berbasis gender dan seksual (KGBS) yang berkualitas. Salah satu upayanya adalah menguatkan dukungan dari pemerintah daerah agar layanan KBGS yang tersedia sesuai dengan kebutuhan dan hak korban.

Tugas UPTD PPA dalam menangani kasus kekerasan yang disebutkan di UU TPKS:

1. Menerima laporan atau penjangkauan Korban,
2. Memberikan informasi tentang Hak Korban,
3. Memfasilitasi pemberian layanan kesehatan;
4. Memfasilitasi pemberian layanan penguatan psikologis,
5. Memfasilitasi pemberian layanan psikososial, Rehabilitasi sosial, pemberdayaan sosial, dan reintegrasi sosial,
6. Menyediakan layanan hukum,
7. Mengidentifikasi kebutuhan pemberdayaan ekonomi,
8. Mengidentifikasi kebutuhan penampungan sementara untuk Korban dan Keluarga Korban yang perlu dipenuhi segera,
9. Memfasilitasi kebutuhan Korban Penyandang Disabilitas,
10. Mengkoordinasikan dan bekerja sama atas pemenuhan Hak Korban dengan lembaga lainnya,
11. Memantau pemenuhan Hak Korban oleh aparatur penegak hukum selama proses acara peradilan.

Di Kabupaten Sukoharjo, Yayasan Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) telah lama berkoordinasi dan bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam penanganan dan membangun upaya-upaya untuk pencegahan kekerasan, bahkan sebelum UPTD PPA dibentuk pada 2025. Sejak SPEK-HAM menjadi salah satu mitra Yayasan IPAS Indonesia melalui proyek ARUNIKA pada November 2024, kolaborasi ini semakin solid, menandai langkah penting dalam penguatan layanan perlindungan perempuan dan anak.

Di awal pembentukan UPTD PPA Kabupaten Sukoharjo, lembaga tersebut telah memiliki satu SOP layanan untuk kekerasan. Direktur SPEK-HAM Rahayu Purwaningsih atau yang akrab disapa Ayu mengatakan SOP yang sudah dimiliki adalah SOP Pengelolaan Makro atau masih umum, belum secara spesifik menguraikan tugas UPTD PPA sebagaimana tertulis dalam UU TPKS.

Direktur SPEK-HAM Rahayu Purwaningsih saat ditemui di ruang kerjanya.

Melalui proyek ARUNIKA, SPEK-HAM secara intens berkoordinasi dengan pemerintah Kabupaten Sukoharjo untuk menguatkan kelembagaan UPTD PPA. Dari proses diskusi yang melibatkan jejaring dan organisasi yang bergerak di isu Kesehatan Reproduksi dan Penanganan Kekerasan pada Perempuan dan Anak, timbul kebutuhan untuk merincikan SOP sesuai dengan mandat UPTD PPA (lihat kotak atas). Namun, tidak memungkinkan untuk mengerjakan 11 SOP dalam satu tahun, maka disepakati secara pertisipatif dengan UPTD PPA untuk memfokuskan delapan SOP prioritas (lihat kotak bawah).

“Pemilihan delapan SOP itu merupakan SOP yang dianggap prioritas dan ini disepakati secara partisipatif dengan UPTD PPA, artinya dari 11 kita tentukan dahulu. Kemudian dalam penyusunannya tidak hanya diskusi antara SPEK-HAM dengan UPTD, tetapi melibatkan beberapa organisasi, masyarakat sipil termasuk organisasi disabilitas, kemudian ada juga lembaga bantuan hukum dan lembaga pendamping anak yang biasa melakukan pendampingan kasus,” tambah Ayu.

Proses dua bulan yang menghasilkan delapan SOP

Proses penyusunan SOP dimulai dari audiensi, dilanjutkan dengan diskusi-diskusi informal, dan tiga kali workshop bersama. Tantangan tentu ada karena semakin banyak pihak yang terlibat, semakin beragam pula perspektif yang harus disatukan. Namun, pendekatan kolaboratif ini justru menjadi kekuatan utama dalam menghasilkan SOP yang inklusif dan aplikatif.

SOP yang telah diterbitkan oleh UPTD PPA Kabupaten Sukoharjo:

1. SOP Pengelolaan Makro
2. SOP Pengaduan Masyarakat
3. SOP Penjangkauan Korban
4. SOP Pengelolaan Kasus
5. SOP Penampungan Sementara
6. SOP Mediasi
7. SOP Pendampingan Korban
8. SOP Koordinasi dan Rujukan/Kerjasama

“Di Sukoharjo, kami mengusulkan kepada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan UPTD-PPA untuk melibatkan Dinas Kesehatan, kemudian RSUD, kemudian Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana dan UPTD PPA sendiri, LSM (lembaga sosial masyarakat), dan rumah sakit. Nah, institusi-institusi ini kami libatkan untuk memastikan penyusunan SOP dilakukan secara partisipatif, berdasarkan pengalaman penanganan kasus,” ujarnya.

“Jadi, memang semakin banyak kepala, semakin sulit. Tetapi, bagaimana kemudian secara partisipatif SOP ini mampu menggambarkan secara umum tahapan penanganan kekerasan yang seharusnya dilakukan oleh UPTD PPA,” tegas Ayu.

Tantangan dalam Implementasi SOP

Penyuluh Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan dan Anak UPTD PPA Emira Salim, S.Psi menyampaikan bahwa implementasi SOP sudah mulai berjalan, meski belum sepenuhnya mulus. Koordinasi lintas sektor masih menjadi tantangan, terutama dalam menyamakan pemahaman dan tujuan antar lembaga.

Emira Salim saat ditemui di sela-sela workshop kegiatan ARUNIKA.

“Mungkin tantangan berkoordinasi ya. Berkoordinasi kalau tantangan pasti ada. Jadi tantangannya itu mungkin dengan lintas-lintas sektor terkait mungkin masih perlu dibutuhkan satu pemahaman yang sama, sehingga bisa menuju satu tujuan yang sama,” imbuhnya.

Selain itu, keterbatasan sumber daya manusia juga menjadi tantangan tersendiri. Saat ini, UPTD PPA Sukoharjo hanya memiliki empat orang staf, yang juga merangkap tugas di Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sukoharjo.

Meski begitu, langkah awal ini menunjukkan komitmen kuat dari pemerintah daerah untuk membangun sistem layanan yang responsif terhadap korban kekerasan. Penyusunan SOP bukan sekadar dokumen administratif, melainkan fondasi penting menuju layanan yang berpihak pada korban sesuai dengan mandat UU TPKS.

Gulir ke Atas