Skip to content Skip to footer

Mendefinisikan Ulang “Komprehensif” dalam Layanan Bagi Korban Kekerasan Seksual Pasca Pengesahan UU No 12/2022 tentang TPKS

Yayasan IPAS Indonesia menggelar diskusi berjudul Mendefinisikan Ulang “Komprehensif” dalam Layanan bagi Korban Kekerasan Seksual (24/08). Diskusi ini merupakan bagian dari The International Conference on Indonesia Family Planning and Reproductive Health (ICIFPRH) kedua yang diadakan di Sahid Raya Hotel and Conference Yogyakarta.

Fokus diskusi ini adalah membedah tantangan dan peluang penyediaan layanan komprehensif bagi korban kekerasan seksual dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Yayasan IPAS Indonesia menghadirkan nara sumber antara lain Sri Nurherwati, SH, Mantan Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan sekaligus Ketua Yayasan Sukma, KBP DR. dr. Sumy Hastry Purwanti, DFM, Sp.F, Ka Biddokkes Polda Jawa Tengah, Suharti, Forum Penyedia Layanan, dan Masruchah, Sekretaris Majelis Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).

Perempuan dan remaja perempuan korban kekerasan seksual berhak mendapatkan layanan, perlindungan, dan pemulihan yang komprehensif sesuai dengan peraturan dan perundangan di Indonesia. Hal ini tercantum dalam UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 pasal 75. Lantas, bagaimana hak layanan komprehensif di UU TPKS?

Sri Nurherwati mengatakan bahwa meski pemberian layanan komprehensif untuk korban perkosaan tidak diatur secara eksplisit di UU TPKS, namun masih ada peluang untuk mewujudkan layanan tersebut melalui hak pemulihan bagi korban. Hal ini terdapat pada pasal 67 ayat 2 UU TPKS yang berbunyi pemenuhan hak korban merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban. Untuk itu segera dibutuhkan Standard Operation Procedure (SOP) berupa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden untuk implementasinya.

“Kita membutuhkan SOP untuk implementasi undang-undang sesuai dengan sembilan jenis kekerasan yang tertuang dalam UU TPKS, dalam SOP tersebut pembuktiannya harus clear sehingga dapat digunakan oleh penyidik.” ujarnya.

Belajar dari RS Bhayangkara Tingkat 2 Semarang, KBP DR. dr. Sumy Hastry Purwanti, DFM, Sp.F mengungkapkan bahwa untuk memberikan layanan komprehensif perlu kerja sama tenaga kesehatan, kepolisian, dan relawan masyarakat. Beliau juga menjelaskan alur pelayanan yang ramah terhadap korban yang diterapkan di Semarang.

“Forensik klinis di RS Bhayangkara Tingkat II Semarang ada psikolog dan pendamping, selain itu kalau datang ke Polres/Polsek pastikan lapor ke penyidik, jika tidak memungkinkan korban datang maka penyidik yang akan datang, jika ada tindakan medis kita kerjakan dulu, jika ada kebutuhan layanan forklin kita lakukan dahulu,” terangnya.

Sementara itu, Suharty, Komisi Etik Forum Penyedia Layanan menjelaskan terdapat tiga hal utama dalam memberikan layanan komprehensif terhadap korban perkosaan, yakni layanan hukum, layanan psikososial, dan layanan medis. “Tiga kebutuhan dasar ini wajib dipenuhi ketika pemulihan kekerasan seksual agar komprehensif,” tegasnya.

Meski demikian, pada kenyataannya layananan komprehensif saat ini tidak tersedia secara luas. Beberapa daerah yang sudah menerapkan standar kualitas layanan Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) adalah daerah Batang, Yogyakarta, dan Semarang.

“Daerah-daerah tersebut sudah menyebutkan secara jelas adanya layanan aborsi aman bagi korban perkosaan sesuai Undang-Undang Kesehatan, sedangkan daerah lain bahkan informasi layanannya saja tidak ada, termasuk bagaimana memanfaatkan masa emas 72 jam untuk menyelamatkan korban dari risiko kehamilan akibat perkosaan,” ujarnya.

Suharty menambahkan, hal ini diperparah dengan kurang sensitifnya konselor untuk memanfaatkan aturan (aborsi aman untuk korban perkosaan) yang memberikan waktu usia kehamilan hanya 40 hari. Belum lagi sulitnya dokter memberikan layanan dengan alasan adanya sumpah dokter.

Berbagai upaya yang dilakukan forum pengadaan layanan adalah menginisiasi sistem peradilan pidana terpadu bekerja sama dengan Komnas Perempuan. Namun demikian, beberapa daerah tidak berani membuat Peraturan Daerah karena membutuhkan cantolan hukum. Oleh karena itu UU TPKS diharapkan dapat menjadi cantolan hukum melalui pasal pemenuhan hak korban untuk pemulihan dan perlindungan, baik terhadap korban, keluarga, serta pendamping.

Upaya menyediakan layanan komprehensif bagi korban perkosaan juga menjadi fokus kerja KUPI. Masruchah, Sekretaris Majelis KUPI menjelaskan bahwa pandangan keagamaan menggunakan pendekatan kemaslahatan umat dengan misi untuk kebaikan dan keadilan bagi korban perkosaan dengan berpijak pada hukum dan agama. “Agama melarang perbuatan yang mengancam jiwa, kekerasan seksual ini berimplikasi terhadap kejiwaan dan kegoncangan sehingga perempuan tidak dapat melakukan kerja-kerja di ranah publik,” ujarnya.

Satu kerja penting yang dilakukan KUPI adalah dengan adanya fatwa yang mendukung hak korban untuk mendapatkan layanan komprehensif sesuai UU Kesehatan dengan menambah aturan masa layanan yang semula 40 hari menjadi 120 hari. Fatwa tersebut menjadi salah satu aspek yang akan disampaikan dalam kongres pada November mendatang dengan melibatkan melibatkan 28 provinsi di Indonesia dan 20 negara di dunia.

Tersedianya layanan komprehensif bagi korban perkosaan menjadi bagian penting dari tema besar ICFPRH 2022 yakni mengakselerasi tiga zero yang terdiri dari menghentikan kematian ibu, menghentikan tidak terpenuhinya kebutuhan KB, dan menghentikan kekerasan berbasis gender dan praktik berbahaya terhadap perempuan dan anak perempuan. Melalui UU TPKS ini diharapkan dapat memberikan kekuatan hukum agar layanan komprehensif dapat dirasakan oleh korban kekerasaan seksual dan perkosaan.

(*)


Go to Top
EN ID