Guncangan gempa bumi tahun 2018 yang berkekuatan 7,4 Skala Richter di Kabupaten Sigi dan Donggala, Sulawesi Tengah, menghancurkan hampir seluruh fasilitas kesehatan setempat. Parahnya, akibat perubahan iklim, kedua kabupaten itu kerap mengalami banjir. Kondisi itu mengakibatkan warga susah untuk mengakses layanan kesehatan reproduksi.
Studi kolaborasi yang dilakukan oleh Yayasan IPAS Indonesia bersama dengan Universitas Hasanuddin menemukan susahnya akses terhadap layanan kesehatan pasca gempa dan akibat perubahan iklim menyebabkan naiknya angka Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD) dan susahnya mengakses kontrasepsi.
Seorang bidan desa asal Kabupaten Sigi, Faina, mengatakan dua bulan setelah gempa bumi, akses kontrasepsi berhenti total. Warga setempat tidak bisa mengakses karena lumpuhnya layanan kesehatan. Selain itu, sejumlah tenaga kesehatan terpaksa mengungsi untuk menyelamatkan diri. Akibatnya, tidak ada yang memberikan layanan tersebut.
“Pasca gempa itu, satu bulan dua bulan berlalu, kontrasepsi tidak berjalan, pasca gempa bumi, ibu hamil meningkat karena banyak ibu-ibu yang tidak [bisa] pergi ke pelayanan kesehatan,” kenang Bidan Faina.
Hal itu menggerakkan Bidan Faina dan sejumlah relawan tenaga kesehatan untuk memberikan layanan jemput bola dengan mendatangi masyarakat. “Pada saat gempa itu, [kami berikan kontrasepsi] suntik, layanan keliling itu. Selama dua bulan,” imbuhnya.
Setelah gempa berlalu, sejumlah tenaga kesehatan pun masih memberikan layanan jemput bola. Mereka mendatangi tempat hunian sementara (huntara) untuk mengedukasi dan memberikan layanan kesehatan reproduksi.
Bidan Misini dari Kabupaten Donggala, kerap mengunjungi pasangan usia subur untuk memberikan edukasi terkait dengan kontrasepsi di huntara. Sejumlah program juga diinisiasi oleh Puskesmas untuk menurunkan Kehamilan yang Tidak Diinginkan. Salah satunya adalah Kelas Ibu Hamil.
“[Kami] mengumpulkan ibu hamil. Sebenarnya [dalam] Kelas Ibu Hamil ini harus ada suaminya. Kalaupun tidak ada, minimal ibunya yang datang. Jadi [kami lakukan] pemeriksaan ibu hamil di situ,” papar Bidan Misini.
Dalam pemeriksaan tersebut, Bidan Misini juga ditemani oleh petugas laboratorium untuk mengecek langsung kondisi ibu hamil. Salah satunya adalah pengecekan HBsAg untuk memastikan ada atau tidaknya virus hepatitis B. Selain itu, ibu hamil juga mendapatkan edukasi terkait dengan gizi bagi diri sendiri maupun bayinya.
Untuk memastikan perempuan mendapatkan hak kesehatan reproduksinya, Yayasan IPAS Indonesia melalui KPKP-ST melakukan peningkatan kapasitas terhadap perawat dan bidan desa di 20 Desa di Sigi dan Donggala dalam merespons penanganan gangguan reproduksi perempuan dan kasus kekerasan berbasis gender dan seksual. Inisiatif ini dilakukan karena adanya peningkatan gangguan kesehatan reproduksi dan kekerasan di dua kabupaten tersebut imbas dari gempa dan perubahan iklim. Kegiatan itu dilakukan dalam periode Agustus-Desember 2022.