Kesehatan Reproduksi Perempuan dalam Pusaran Perubahan Iklim di Sulawesi Tengah

Gempa bumi yang terjadi di Kabupaten Sigi dan Donggala, Sulawesi Tengah, pada September 2018 tidak hanya mengubah kondisi fisik lanskap wilayah. Tatanan sosial pun berubah karena hampir seluruh warga terpaksa pindah dari rumah mereka demi alasan keamanan. Kondisi ini tidak hanya memperparah kondisi perekonomian mereka, tetapi juga kualitas kesehatan reproduksi warga perempuan. Hal itu makin parah karena adanya perubahan iklim. 

Ibu Fatnur, seorang warga Desa Tompe, Kabupaten Donggala, mengatakan semenjak ia berpindah ke hunian sementara (huntara), akses terhadap air bersih semakin buruk. Hunian sementara merupakan tempat tinggal bagi penyintas gempa bumi sebelum direlokasi ke hunian tetap. Ia telah tinggal di huntara itu sejak bencana itu meluluhlantakan rumahnya lima tahun silam hingga kini.  

“Ya dulu pertama [tinggal di huntara] susah banget [dapat air bersih]. Air dari sumur bor. Hampir tiga tahun [pakai sumur bor]. Kalau pakai mandi begatal (menyebabkan gatal-gatal di badan red). Sekarang sudah ada [layanan air] PDAM, kalau [air] PDAM tidak bikin gatal-gatal,” ujar Ibu Fatnur. 

Perpindahan ke huntara ini juga memaksanya untuk beradaptasi dengan persaingan ekonomi. Ibu Fatnur menambahkan, banyak warga yang awal mulanya petani menjadi nelayan karena adanya bantuan dari sejumlah pihak pasca bencana. Kondisi ini membuat persaingan untuk menjual hasil tangkapan ikan semakin ketat. 

Kepala Desa Tompe, Bapak Herdi, menegaskan perubahan mata pencaharian ini berpengaruh terhadap naiknya kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Ia menyebut, kondisi psikologi suami istri karena perubahan perekonomian itu yang diduga memicu adanya KDRT. 

Herdi saat ditemui di kantor kepala desa Tompe.

“Ada sedikit presentasi [kenaikan KDRT]. Kami tidak bisa menghitungnya, tapi ada kenaikan. Gara-gara ekonomi, kehidupan serba kekurangan memicu emosi,” kata Bapak Herdi. 

Studi yang dilakukan oleh Yayasan IPAS Indonesia bersama dengan Universitas Hasanuddin pada 2022-2023 menemukan kebanyakan pelaku kekerasan seksual hanya dihukum melalui denda adat. Bahkan ada juga kasus yang kemudian menikahkan pelaku dengan korban. Hal tersebut diduga karena mereka tidak memiliki kemampuan ekonomi yang cukup akibat perubahan iklim, walaupun ini seharusnya dihindari karena tidak mengutamakan kesejahteraan korban.

Seorang bidan desa bernama Misini mengungkapkan kenaikan kasus kekerasan pasca gempa itu diduga karena kondisi hunian yang warga tinggali. “Pasca gempa [kekerasan dan pernikahan anak] meningkat karena … di tenda, mereka kumpul berdekatan,” ungkapnya. 

Untuk mendorong pemerintah desa tanggap dengan kasus kekerasan seksual akibat bencana dan perubahan iklim, Yayasan IPAS Indonesia bekerja sama dengan KPKP-ST (Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah) melakukan penguatan kapasitas. Kegiatan ini bertujuan untuk mendorong perangkat desa agar melahirkan kebijakan untuk menghapus kekerasan berbasis gender dan seksual. 

Dalam kurun waktu Agustus-Desember 2022, KPKPST telah melakukan lebih dari 10 kali workshop di 20 desa di Kabupaten Sigi dan Donggala kepada pemerintah desa dan petugas kesehatan. Selain itu, sebanyak 1.608 perempuan dan laki-laki dewasa serta  remaja perempuan dan laki-laki juga terlibat dalam kampanye penyadartahuan terkait dengan kekerasan. Dari kegiatan itu, sejumlah desa telah menunjuk perangkat desanya untuk menjadi Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak (Satgas PPA). bahkan, beberapa desa telah memberikan anggaran khusus untuk kegiatan Satgas PPA. 

Scroll to Top