Mendorong Masyarakat Aktif Menyuarakan Isu Kesehatan Reproduksi melalui Musrenbang Desa

Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Desa menjadi proses yang sangat krusial bagi masyarakat. Musrenbang menjadi tahapan awal untuk menampung aspirasi masyarakat, termasuk isu kesehatan reproduksi (kespro) yang kurang melibatkan partisipasi perempuan. Karena pentingnya isu ini, mitra IPAS Indonesia, Yayasan CIS Timor mengadakan workshop untuk mendorong masyarakat menyuarakan isu-isu tentang kespro.

Selama April 2024, Yayasan CIS Timor telah melakukan workshop ini di empat desa (Bena, Lanu, Linamnutu, dan Sunu) di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Kegiatan ini dihadiri oleh perangkat desa seperti Kepala Desa, Pendamping Lokal Desa, TKD Bidan, Kepala Urusan Pemerintahan, perwakilan PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga), kader posyandu, perwakilan remaja,  tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh perempuan.

“Khusus dalam workshop ini masyarakat menyampaikan ide atau usulan pada sektor kesehatan khususnya pada isu kespro dan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang ada di desa masing-masing kemudian ditanggapi oleh fasilitator dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat,” ujar staf Yayasan CIS Timor Wemrits Nenohaifeto.

Yang menjadi bahasan utama selama workshop adalah terkait dengan masih banyaknya perempuan hamil yang melahirkan di rumah. Hal ini terjadi karena akses menuju fasilitas kesehatan yang sulit baik dari segi jarak maupun kondisi jalan. Selain itu, masyarakat juga membahas terkait dengan tingginya angka kehamilan yang tidak diinginkan yang terjadi di kalangan remaja.

Padahal, di Kabupaten Timor Tengah Selatan sendiri, telah ada Peraturan Daerah (Perda) No. 6 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, dan Anak Bawah Lima Tahun atau yang biasanya disingkat dengan KIBBLA. Perda ini mengatur secara komprehensif mulai dari penyuluhan, pencegahan, pengobatan dan pemulihan terkait dengan kesehatan ibu, bayi dan anak.

Meski begitu, implementasi dari Perda ini masih menjadi tantangan. Di antaranya adalah tidak adanya konsistensi dari desa untuk menerapkan aturan tersebut. Hal ini terjadi karena belum adanya peraturan desa untuk mendukung Perda KIBBLA. Ditambah kesadaran masyarakat juga kurang. Padahal dalam Perda itu juga mengatur terkait denda bagi warga yang tidak melaksanakan. Misalnya, ibu hamil yang tidak melahirkan di fasilitas kesehatan akan dikenai denda Rp. 200.000. Lalu, ibu yang tidak menggunakan kontrasepsi setelah melahirkan juga dikenakan denda Rp. 100.000.

Implementasi Perda KIBBLA ini kemudian menjadi bahasan cukup penting selama workshop. Salah satu peserta, Bapak Onesimus Feliks, Kepala Seksi Pemerintahan Desa Bena, mengatakan, implementasi Perda KIBBLA ini perlu mendapat perhatian khusus untuk masing-masing desa. “Dalam waktu dekat [saya] akan berkomunikasi dengan BPD agar segera menetapkan Perdes (Peraturan Desa)  KIBBLA di Bena,” ujarnya.

Selain itu pihaknya juga akan bekerja sama dengan gereja untuk mensosialisasikan terkait dengan Kehamilan Tidak Diinginkan di kalangan remaja. “Kami di gereja sudah melaksanakan aturan yang kita bahas ini (Perda KIBBLA) dan sementara ada katekisasi kilat dengan pendekatan persuasif kilat dari gereja untuk kaula muda yang belum menikah tetapi sudah tinggal satu rumah,” tambahnya.

Karena mengingat pentingnya Perda KIBBLA, dalam workshop tersebut, usulan yang akan disampaikan di Musrenbangdes adalah terkait dengan pembuatan aturan turunan agar desa mempunyai landasan yang kuat dalam melaksanakan Perda tersebut. “Karena  dalam Perda KIBBLA tersebut telah termuat semua hal yang mengatur tentang Kesehatan Ibu Bayi Baru Lahir dan Anak sampai pada denda-denda yang akan diberikan jika melanggar aturan di dalam Perda KIBBLA,” kata staf Yayasan CIS Timor, Sherly Y. Sinlae.

Terkait dengan usulan yang dibahas selama workshop, salah satu peserta sekaligus tokoh agama, Ibu Indah Radja, mengatakan pihaknya optimistis usulan tersebut akan dipertimbangkan dalam Musrenbang. Menurutnya, isu terkait dengan Kespro perlu ditindaklanjuti oleh masing-masing desa.

“Saya sangat optimis[tis] karena pergumulan-pergumulan desa ini berkaitan dengan stunting, gizi buruk, kesehatan ibu dan bayi. Oleh karena itu sebuah kehamilan sendiri harus direncanakan dan bahkan sampai melahirkan juga harus direncanakan dengan baik, karena itu apabila kita melakukan perilaku seks di luar nikah maka otomatis semua masalah-masalah tadi itu akan lahir dan akan jadi pergumulan jangka panjang,” tandasnya.

Workshop ini merupakan bagian dari kegiatan proyek TAKENUSA (Tekad Bersama untuk Kesehatan Perempuan Nusa Tenggara Timur). Tujuan dari proyek ini di antaranya adalah memberikan dukungan teknis kepada pemberi layanan kesehatan untuk memperkuat layanan Asuhan Pasca Keguguran (APK), meningkatkan akses pelayanan kontrasepsi dan memberikan edukasi terkait dengan kesehatan reproduksi.

Scroll to Top