Gempa bumi yang mengguncang Palu, Sigi, dan Donggala pada 2018 mengubah jalan hidup seorang Ibu Yuni Agustina Djamhuri. Ia memutuskan untuk berhenti menjadi guru lalu berkecimpung untuk memperjuangkan keadilan bagi perempuan. Ia melihat bagaimana perempuan kerap menjadi korban kekerasan dan seksual di tenda-tenda pengungsian. Gambaran itu baginya adalah panggilan jiwa untuk mendampingi kasus kekerasan perempuan.
Sejak 2018, Ibu Yuni telah menangani kurang lebih 200 kasus semenjak bergabung dengan KPKPST (Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah). Karena banyaknya kasus yang harus ia dampingi, label “ibu kasus” melekat pada dirinya. Ia mengaku, ada kasus yang gampang ditangani. Tetapi ada juga yang menguras energi karena berhadapan dengan aturan adat setempat.
“Saya melihat diriku apakah saya perempuan yang bisa menolong orang. Itu awalnya pasca gempa kemarin [2018]. Ada keluarga menawarkan mau gabung KPKPST. Itu KPKPST apa? Itu berkerja di isu perempuan dan melindungi perempuan Saya menjadi relawan KPKPST,” kenang Ibu Yuni.
Meski tidak ada latar belakang hukum, Ibu Yuni menjalani pekerjaannya sebagai sebuah proses untuk belajar. Banyak rekannya di KPKPST yang lebih senior kerap membagikan ilmu pendampingan kasus. Ia mengatakan, kunci yang penting sebagai pendamping korban adala empati dan tidak mendiskriminasikan korban.
Aturan adat yang kurang memperhatikan keadilan perempuan
Ibu Yuni kerap sakit kepala ketika ada kasus kekerasan seksual, terutama dengan korban anak-anak, diselesaikan secara adat dan kekeluargaan. Menurutnya, aturan dalam adat kurang memperhatikan keadilan bagi perempuan sebagai korban. Misalnya, korban dan pelaku sama-sama diminta untuk menyembelih kambing sebagai denda atas perbuatan tersebut.
Dalam kepercayaan masyarakat, kekerasan seksual atau pemerkosaan adalah aib bagi desa. Mereka percaya hal ini bisa menimbulkan malapetaka di desanya. Untuk menolak bala, maka korban dan pelaku harus mempersembahkan hewan seperti kambing. Kemudian daging tersebut setelah disembelih, dimasak lalu dijadikan menu makan bersama satu kampung.
Ia pernah mendampingi kasus remaja perempuan berusia 14 tahun yang diperkosa oleh 12 pelaku yang merupakan orang dewasa. Baik pemerintah desa dan lembaga adat bersikuat kasus tersebut diselesaikan secara adat. Korban dan pelaku dijatuhi denda berupa potong satu ekor kambing dan uang tunai Rp 2 juta. Ia harus debat kusir dengan aparat yang mayoritas laki-laki dan lembaga adat.
Ibu Yuni tetap tegas agar kasus itu dilaporkan ke kepolisian. Salah satu alasannya adalah korban adalah anak yang berasal dari keluarga miskin. Hal ini sangat tidak adil: sudah jadi korban disuruh bayar denda pula.
Setelah dilaporkan ke polisi, pelaku kemudian diadili dan diberi hukuman 15 tahun penjara. Korban pun tidak jadi diberikan hukuman adat.
Kesehatan mental sebagai pendamping kasus kekerasan
Saat merasa kewalahan, Ibu Yuni biasanya meminta rekannya untuk menangani terlebih dahulu. Saat banyak kasus yang masuk, ia biasanya memprioritaskan kasus yang sangat mendesak. Jika sudah mulai pusing dan mual akibat kondisi kesehatan mentalnya, yang biasanya ia lakukan adalah istirahat terlebih dahulu di rumah.
“Dengar kiri kanan (soal kasus kekerasan). Apalagi kalau ada beberapa kasus, saya langsung ke tempat kejadian,” ungkapnya.
Di tengah tantangan kesehatan mental, ibu Yuni tetap maju di mana ada ketidakadilan bagi perempuan. Terutama di desa-desa, di mana masyarakat takut melapor dan faktor lainnya yang membuat perempuan merasa tidak memiliki pilihan selain pasrah.
“Masih banyak daerah terpencil, mereka belum mau untuk berbicara (terbuka) terhadap kasus mereka yang di dengar atau yang dialami langsung. [Mereka] yang sangat kesulitan di pelosok sana. Mereka merasa ketakutan jika kasusnya terlaporkan, karena mereka mendapatkan ancaman dari pelaku. Ini yang membuat mereka enggan untuk melaporkan kasusnya,” tandasnya.