Di banyak desa pesisir pedesaan di Indonesia, krisis iklim tidak dapat diabaikan. Masyarakat setempat menghadapi panas ekstrem dan banjir rob yang terus-menerus. Di Kabupaten Sigi dan Donggala, yang berjarak sekitar 2.204 km dari ibu kota Jakarta, kegagalan panen dan kekurangan air menjadi tantangan sehari-hari.
Namun, sebagian besar warga desa masih belum menyadari betapa dalam dampak krisis iklim terhadap kesehatan reproduksi mereka. Studi yang dilakukan oleh Yayasan IPAS Indonesia bekerja sama dengan Universitas Hasanuddin menunjukkan bahwa perubahan iklim merupakan faktor utama dalam peningkatan pernikahan dini, termasuk tantangan higiene menstruasi dan perencanaan keluarga. Meskipun demikian, masyarakat memandang tren ini sebagai kelanjutan dari pola sebelumnya.
Menyebarkan kesadaran tentang isu-isu ini menjadi tantangan karena tingkat literasi yang rendah, terutama di daerah pedesaan di mana akses pendidikan terbatas. Menurut Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), Indonesia menempati peringkat ke-70 dari 81 negara dalam hal literasi.
Untuk mengatasi hal ini, Yayasan IPAS Indonesia berkolaborasi dengan 20 pemuda dari Kabupaten Sigi dan Donggala untuk mendokumentasikan dampak perubahan iklim terhadap kesehatan reproduksi melalui pelatihan fotografi selama lima hari. Workshop ini bertujuan untuk memperkuat kemampuan orang dalam memahami dampak perubahan iklim terhadap kesehatan reproduksi.
Kami menggunakan pendekatan visual untuk memantik pemikiran kritis dan kreatif mereka. Peserta belajar cara mengambil foto yang kuat, menulis cerita yang menarik, dan melakukan tugas lapangan untuk mendokumentasikan dampak perubahan iklim.
Unduh cerita fotonya di bawah ini.
Apa yang peserta tangkap dari pelatihan
Mata Faradiva Aulia Azmi berkaca-kaca saat ia memperlihatkan foto-foto yang ia ambil di desanya. Orang dalam foto di sebelah kiri adalah tetangganya, Siti, yang dipaksa menikah pada usia 15 tahun karena kondisi ekonomi.
“Keluarga temanku menjual tanah pertanian mereka karena kekeringan. Dia merasa sedih karena keluarganya kekurangan penghasilan akibat kekeringan. Lalu, dia memutuskan untuk menikah. Dia berharap dengan menikah, dia bisa meringankan beban keluarganya,” kata Faradiva.

Siti terpaksa putus sekolah tak lama setelah menikah. Pernikahannya terjadi bukan atas kehendaknya sendiri, melainkan karena keterpaksaan. Orang tua Siti menjodohkannya di usia sangat muda untuk meringankan beban ekonomi keluarga. Mereka telah menjual tanah keluarga akibat dampak krisis iklim dan beralih profesi dari petani menjadi penjual binte biluhata (sup jagung).
Aditya, peserta lain, berbagi cerita serupa. Dia mewawancarai temannya yang dipaksa menikah saat masih anak-anak karena orang tuanya tidak mampu menafkahinya. Pendapatan mereka sebagai buruh tani menurun drastis akibat cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim, yang mengakibatkan kegagalan panen.
‘Kran air seharusnya menjadi sumber kehidupan bagi semua orang.’
Foto dan cerita lain menunjukkan bahwa krisis iklim telah berdampak pada sumber air, memaksa orang untuk bepergian lebih jauh dari rumah mereka untuk mencari air bersih.
Di daerah pedesaan, krisis iklim telah memberatkan perempuan lebih parah.. Mereka tidak hanya bertanggung jawab untuk merawat anak-anak mereka tetapi juga untuk menyediakan air bagi keluarga. Mereka sering harus bepergian jauh ke kota terdekat untuk mendapatkan air karena desa mereka terendam banjir.
Seorang peserta lain, Gilang, mewawancarai seorang perempuan yang harus pergi ke sungai untuk mengumpulkan air. Namun, hal itu tidak menjamin air tersebut bersih karena banjir pasang telah mencemari sungai. Akibatnya, perempuan di desa tersebut menderita infeksi saluran kemih akibat mandi di air yang tercemar.

Kran air seharusnya menjadi sumber kehidupan bagi semua orang. Namun, kenyataannya sangat berbeda. Banyak warga yang tinggal di desa tersebut menghadapi masalah ketersediaan air bersih. Airnya berkarat. Banyak perempuan di desa tersebut mengalami infeksi bakteri (akibat menggunakan air terkontaminasi).
Suara Orang Muda: Refleksi dari Tim Ipas Indonesia
Yang menarik dari workshop pelatihan fotografi ini adalah melihat bagaimana orang muda terhubung dengan penemuan mereka melalui foto-foto. Potret-potret ini tidak hanya memperdalam pemahaman mereka tentang bagaimana perubahan iklim memengaruhi kesehatan reproduksi, tetapi juga membantu membuat topik kompleks perubahan iklim lebih mudah dipahami oleh penonton.
Selain itu, peserta berbagi bahwa mereka merasa didengar dalam mengekspresikan pandangan mereka tentang perubahan iklim, yang sering diabaikan karena suara mereka jarang didengar di desa mereka. Pembahasan tentang perubahan iklim biasanya berfokus pada mata pencaharian, tetapi wawasan mereka menambahkan perspektif pribadi yang berharga dalam percakapan melalui pelatihan ini dan foto-foto mereka.
Setelah menyaksikan antusiasme mereka, kami optimistis bahwa peserta muda ini kini lebih termotivasi untuk mendidik orang lain tentang dampak perubahan iklim—terutama pada kesehatan reproduksi.
Yayasan IPAS Indonesia berkomitmen untuk memperkuat suara orang muda dan menampilkan aspirasi dari tapak melalui foto-foto yang dihasilkan selama workshop di platform nasional. Kami bertujuan untuk melibatkan mereka dalam diskusi kebijakan dan acara-acara penyuluhan lainnya.