Peringatan: cerita ini berisi pengalaman penyintas KDRT yang bisa memberikan rasa tidak nyaman dan memicu trauma terkait dengan kekerasan saat membaca. Jika Anda merasa tidak nyaman pada saat membaca, silakan berhenti membaca dan memulai lagi lain kali. Jika Anda butuh bantuan karena mengalami kekerasan, Anda bisa menemukan penyedia layanan terdekat di carilayanan.com.
Selama 12 tahun, Ibu Sirpia bertahan menghadapi kekerasan di dalam bahtera rumah tangganya. Bahkan kekerasan itu ia alami semenjak awal pernikahan. Ia kerap mengadu kepada orang tua dan mertuanya karena tidak tahu mesti melakukan apa saja. Tetapi, ujung-ujungnya ia masih bertahan dalam lingkaran kekerasan tersebut. “Demi anak-anakku,” kenang Ibu Sirpia.
Ibu Sirpia menikah dengan seorang laki-laki yang juga merupakan tetangganya di sebuah desa di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, pada 1994. Awal mula kekerasan ini terjadi karena suami Ibu Sirpia kerap bermain judi dan selingkuh. Saat masalah-masalah ini diangkat oleh Ibu Sirpia, suaminya malah memukulinya.
“Di usia (kehamilan) delapan bulan, suami saya mulai selingkuh. Kok rumah tangga saya seperti ini. Saya kembali ke orang tua, suami jemput. Masih berlanjut lagi, suami saya itu-itu saja, antara judi dan selingkuh,” ujarnya.
Walaupun suaminya juga mencari nafkah demi keluarga kecilnya, dia juga kebiasaan berjudi dan bermain dengan perempuan lain. Ibu Sirpia tak tahan dengan kondisi tersebut. Berulang kali ia meminta suaminya untuk menceraikan dirinya. “Saya tegur kita kasih tahu bicara, dia gak dengarkan, saya yang dipukul,” imbuhnya.
Ibu Sirpia mencoba melampiaskan perasaan akibat kekerasan itu dengan merantau. Untuk memperbaiki kondisi perekonomian keluarga, imbuhnya. Ia berkali-kali pindah-pindah menjadi buruh kelapa sawit di Kalimantan. Meski begitu, ia tetap mengajak suaminya dengan harapan suaminya bisa berubah. Tetapi, kebiasaan judi itu masih dilakukan di perantauan.
Karena tidak tahan dengan kondisi itu, Ibu Sirpia memutuskan untuk menjadi pekerja migran ke Yordania pada 2006. Saat itulah, ia memutuskan untuk merantau seorang diri. Sementara itu, suaminya tetap di kampung. Tak lama kemudian, suami Ibu Sirpia juga bekerja di luar kota di Sulawesi Tengah.
“Daripada stres di kampung. Saya kasih tahu orang tua, daripada nanti berbuat yang tidak-tidak, mending saya cari nafkah ke negara orang. Dua tahun di sana, alhamdulilah sedikit berhasil bangun untuk rumah. Niatku dari Indonesia [untuk] merubah ekonomi saya,” tegasnya.
Usai bekerja di Yordania, ia mulai merasakan perubahan perilaku suaminya. Ia mengaku suaminya sudah tak lagi memukulinya. Hal itulah yang membuat ia tetap bertahan hingga kini. “Alhamdulilah sudah jarang, [mungkin suami saya tahu] ini perempuan berani ke mana-mana,” imbuhnya.
Ibu Sirpia pun mengakui, kini informasi terkait dengan kekerasan semakin terbuka. Hal itu berbeda dengan yang ia alami pada tahun 1990an. Ia hanya bisa mengadu kepada orang tuanya. Bahkan, ia juga tak berani bercerita ke pihak lain karena takut hal itu menjadi aib keluarganya.
“Dulu zamannya saya belum, saya baru dengar cerita (informasi red.) kita bisa lapor. Seandainya [tahu ada informasi] begitu [dulu], saya sudah lapor ke polisi,” pungkasnya.
Informasi terkait pelaporan kasus kekerasan itu Ibu Sirpia dapatkan saat mengikuti diskusi tematik terkait dengan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) dan Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual. Diskusi itu dilakukan oleh Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKP-ST) yang didukung oleh Yayasan IPAS Indonesia. Kegiatan ini dilakukan di 20 desa di Kabupaten Sigi dan Donggala dengan melibatkan kelompok perempuan dan laki-laki serta remaja.