Bapak Muhammad Taufan baru satu tahun menempati posisinya sebagai Kepala Desa Kaleke, Kecamatan Dolo Barat, Kabupaten Sigi. Dalam kurun waktu yang singkat itu, ia telah menaikkan anggaran untuk Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), dari Rp 8 juta per tahun menjadi Rp 12,6 per tahun. Selain itu, ia tengah menggodok peraturan desa untuk menciptakan desa yang terbebas dari segala macam bentuk kekerasan.
Siang itu, Bapak Taufan tampak sedang berdiskusi dengan sejumlah stafnya di kantor desanya. Beberapa warga terlihat keluar masuk kantor desa itu untuk mengurus dokumen administrasi. Senyuman Bapak Taufan tampak sumringah ketika tim Yayasan IPAS Indonesia dan Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKP-ST) mendatangi kantornya. Ia kemudian mengajak kami ke ruangannya.
“Desember 2022 kami dilantik [menjadi kepala desa], sampai Desember tahun ini [2023], satu tahun,” ujar Bapak Taufan sambil sesekali membenarkan pecinya.
Ia menuturkan, sebelum ia menjabat sebagai kepala desa, pimpinan sebelumnya juga begitu peduli dengan penanganan kasus kekerasan berbasis gender dan seksual. Di Kabupaten Sigi sendiri, pemerintah daerah telah memberikan arahan agar desa responsif untuk menangani kasus kekerasan. Hal itu tertulis dalam Peraturan Bupati Sigi No. 21 Tahun 2020 Tentang Rencana Aksi Perlindungan Perempuan dan Anak Terhadap Kekerasan.
“Selama satu tahun ini, kebijakan coba kita buat. Pertama, peningkatan [kapasitas] Satgas kita. Intervensi kita di desa ya menganggarkan (dana) kepada satgas itu sendiri. Melalui dana itu dilakukanlah sosialisasi, pengenalan kepada warga desa Kaleke, ini loh kekerasan dan dampaknya,” imbuhnya.
Untuk mendukung kegiatan Satgas PPA di desanya, Bapak Taufan kemudian menaikkan anggaran yang berasal dari Dana Desa. Tidak ada penolakan dari perangkat desa lainnya terkait dengan kenaikan anggaran tersebut. Hal itu terjadi karena perangkat telah memahami akan pentingnya melindungi warganya dari bentuk kekerasan apa pun.
Dalam satu tahun menjabat, ia mengungkapkan, terjadi beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). “Penanganan yang kami lakukan, alhamdulillah ada Satgas kami, kami selalu koordinasi untuk kasus seperti itu. Kami mencoba selalu melakukan mediasi dulu antara pihak korban dan pihak pelaku,” tegasnya.
Meski begitu, ada satu kasus KDRT yang masih dalam proses pengadilan. Belajar dari kasus ini, ia bersama dengan perangkat desa lainnya tengah membahas Peraturan Desa (Perdes) terkait dengan Ketertiban Umum. Perdes itu nantinya bisa menjadi landasan kuat untuk memberantas kekerasan dan memastikan penyintas dan korban kekerasan di desanya mendapat haknya.
“Tadi malam kita membahas peraturan desa [tapi] belum sedetail itu, namun bisa mengikat, Peraturan Desa tentang ketertiban umum. Masih dalam proses. Tadi malam sosialisasi bersama masyarakat. Nanti ada alurnya yang kita ikuti. Dari bidang hukum dulu, setelah itu kita bisa undangkan,” tambahnya.
Bapak Taufan begitu peduli dengan membuat kebijakan berkaitan dengan kekerasan karena memang banyak kasus di desanya yang perlu ditangani. Karena itu, selain kebijakan, ia juga memastikan adanya anggaran dana agar Satgas PPA bisa dengan mudah melakukan kegiatannya. “Yang membuat miris, di desa kami, begitu banyak kasus yang perlu ditangani. Saya berpikir kita harus dukung kegiatan ini,” tegasnya.
Bapak Taufan memang cukup aktif dalam mengembangkan kapasitas dirinya terkait dengan penanganan dan kepastian hukum kekerasan seksual. Ia kerap ikut pelatihan yang diadakan oleh KPKP-ST dengan dukungan dari Yayasan IPAS Indonesia. Di antaranya adalah manajemen responsif terhadap kekerasan perempuan.
“Setelah dilantik ada pelatihan [dari] KPKP-ST dan IPAS terkait dengan MoU intervensi desa untuk menganggarkan dana dalam hal penanganan kasus. Di desa ada pelatihan kemarin. Alhamdulillah sempat hadir,” pungkasnya.