Yayasan IPAS Indonesia bekerja sama dengan Jakarta Feminist dan Dokter Tanpa Stigma mengadakan Mini Festival Keadilan Reproduksi pada Minggu, 29 September 2024 di STIK Sint Carolus, Jakarta Pusat. Acara yang didukung oleh Pemerintah Kanada ini bertujuan untuk meningkatkan solidaritas terhadap korban dan penyintas Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS).
Acara ini sekaligus menjadi momen untuk meningkatkan pemahaman publik terkait dengan layanan kesehatan korban dan penyintas KBGS. Berdasarkan UU tersebut, korban kekerasan seksual memiliki hak untuk mendapatkan penanganan, perlindungan dan pemulihan, termasuk layanan kesehatan.
Meski begitu, masih banyak korban yang kesulitan mengakses layanan kesehatan yang memadai. Hal ini terjadi di antaranya karena kebijakan belum dilaksanakan secara penuh, skema pembiayaan, stigma dan fasilitas serta kualitas layanan yang belum merata.
Untuk melihat sejauh mana implementasi layanan kesehatan bagi korban dan penyintas KBGS, mini festival ini mempersembahkan diskusi pleno dengan mengundang narasumber dari Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak, Kementerian Kesehatan dan Polda Metro Jaya. Diskusi menggarsibawahi kerja sama lintas sektor sangat krusial untuk memastikan implementasi aturan baik di level nasional dan daerah.
![](https://www.ipasindonesia.org/wp-content/uploads/2024/11/YKW09483-Enhanced-NR-1024x683.jpg)
Direktur Eksekutif Yayasan IPAS Indonesia dr. Marcia Soumokil, MPH mengatakan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat sipil sangat penting dalam memastikan akses yang komprehensif dan holistik bagi korban dan penyintas kekerasan seksual. Kerja sama ini menjadi fondasi yang krusial karena partisipasi publik dan aspirasi masyarakat berperan penting dalam mengawal implementasi kebijakan.
“Dari sisi masyarakat sipil, keterlibatan publik tidak hanya memberikan masukan yang berharga tetapi juga berfungsi sebagai jembatan antara pengalaman korban dan penyintas dengan langkah konkret yang diambil pemerintah. Aspirasi masyarakat ini diharapkan membantu menyempurnakan mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual, agar lebih responsif dan sesuai dengan kebutuhan di lapangan,” imbuhnya.
Ia berharap dialog dan kolaborasi antara pemerintah dan juga masyarakat sipil terus berkelanjutan untuk memperkuat perlindungan hukum, layanan kesehatan, dukungan psikologis, serta akses keadilan bagi para korban dan penyintas.
Anindya Restuviani, Direktur Program Jakarta Feminis turut menambahkan, “Isu kekerasan seksual dan kekerasan terhadap perempuan seringkali luput untuk didiskusikan atas kaitannya dengan pemenuhan hak kesehatan, baik kesehatan secara umum, kesehatan seksual dan reproduksi, dan juga kesehatan mental.”
“Aku senang banget melihat banyak teman-teman yang mau merayakan kemenangan-kemenangan, namun juga tetap menyatakan kemarahan tentang bagaimana masih banyak isu kekerasan seksual khususnya bagi korban kekerasan seksual di Indonesia yang belum bisa mendapatkan hak pemulihan kesehatan, terutama terkait kesehatan seksual dan reproduksinya.” tambahnya.
Beth Resistia Staf Jejaring Advokasi Dokter Tanpa Stigma menambahkan layanan kesehatan bagi korban dan penyintas kekerasan seksual tidak hanya terkait dengan kesehatan fisik, melainkan juga mental yang juga bagian dari hak asasi manusia. “Karena itu, kolaborasi ini diharapkan bisa meningkatkan kesadaran, tidak hanya untuk publik, tetapi juga bagi tenaga kesehatan untuk memberikan layanan yang komprehensif dan holistik bagi korban serta penyintas kekerasan seksual yang bebas stigma,” imbuhnya.
Lebih dari 100 individu dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat umum, mahasiswa, perwakilan organisasi masyarakat sipil, dan tenaga kesehatan menghadiri acara ini. Tidak hanya sesi pleno, pengunjung juga berpartisipasi dalam sejumlah kelas paralel seperti kelas yoga, kelas menulis untuk menyuarakan keadilan bagi perempuan oleh penulis sekaligus aktivis Kalis Mardiasih dan Kelas membuat Zine bersama dengan seniman Hai Rembulan.
“Salah satu peserta membuat zine informasi tentang Teman Tuli, selain melukis, dan kolase dia juga membuat pop up card yg sangat seru dan interaktif. Aku sebagai inisiator, merasa beruntung bisa menyaksikan karya mereka secara personal di sesi aku membantu asistensi satu persatu. Walaupun ada yang belum selesai, aku berharap zine workshop ini bisa menjadi kail untuk mereka mengunjungi zine lagi saat butuh wadah untuk jadi diri sendiri,” ujar Rembulan.
![](https://www.ipasindonesia.org/wp-content/uploads/2024/11/YKW09542-Enhanced-NR-1024x683.jpg)
Sejumlah pengunjung turut berpartisipasi dalam Kelas Emotional Tank dari Dokter Tanpa Stigma untuk mengenali dan mengelola emosi karena trauma. Yang tidak kalah menarik adalah kelas First Responder dari Jakarta Feminist yang memberikan edukasi bagaimana mengidentifikasi dan menanggapi situasi yang membahayakan, seperti kekerasan atau pelecehan.
Mini Festival ini juga menghadirkan beberapa booth interaktif dari Jakarta Feminist, Dokter Tanpa Stigma dan CISDI (The Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives) yang mengajak peserta untuk berdiskusi mengenai berbagai isu dalam lingkup kesehatan seksual dan reproduksi, kekerasan berbasis gender dan seksual, serta kesehatan mental.
Yayasan IPAS Indonesia bekerja sama dengan tenaga kesehatan dari STIK SINT Carolus untuk melakukan pemeriksaan kesehatan dasar dan booth konseling kesehatan reproduksi secara gratis. Kolaborasi ini untuk mendekatkan layanan kesehatan kepada masyarakat.
Melalui booth ini sebanyak 38 peserta melakukan pemeriksaan kesehatan dasar seperti asam urat, gula darah, tekanan darah, dan kolesterol. Sebanyak 19 peserta melakukan tes IVA (skrining kanker serviks) dan 8 peserta mengakses layanan konseling kesehatan reproduksi dasar.
![](https://www.ipasindonesia.org/wp-content/uploads/2024/11/YKW09624-Enhanced-NR-1024x683.jpg)
Rangkaian mini festival ini ditutup dengan pemutaran sekaligus diskusi film bersama Frenia Nababan (Yayasan Kesehatan Perempuan), Uli Pangaribuan (LBH Apik Jakarta) dan Maria Immaculata (praktisi kesehatan mental).
Film pertama yang diputar adalah ASA, yang menceritakan tentang perjuangan seorang remaja yang mengalami kekerasan seksual hingga mengalami kehamilan tidak direncanakan. Film kedua adalah The Flower and The Bee besutan Monica Tedja yang menampilkan rasa ingin tahu seorang anak perempuan berusia 10 tahun mengenai seksualitas.
![](https://www.ipasindonesia.org/wp-content/uploads/2024/11/YKW09718-Enhanced-NR-1024x683.jpg)
Magdalena Mahodim, salah satu peserta sekaligus mahasiswa STIK SINT Carolus mengatakan acara ini menarik dan menambah wawasan, “hal-hal terkait keadilan reproduksi yang dibahas dalam kegiatan ini bisa disisipkan dalam pendidikan sehingga mahasiswa dari rumpun ilmu kesehatan bisa lebih terbuka pikirannya mengenai hal ini”.