Krisis iklim terbukti nyata memperparah kesehatan reproduksi perempuan dan remaja perempuan di Indonesia. Bagaimana kondisi itu bisa digambarkan melalui media foto? Yayasan IPAS Indonesia mengundang orang muda berusia 19-24 tahun dari Sigi dan Donggala, Sulawesi Tengah, untuk menjawab tantangan itu dalam sebuah Workshop Pelatihan Photovoice. Pelatihan ini dilakukan pada 5-8 Maret 2024 di Palu, Sulawesi Tengah.
Mata Faradiva Aulia Azmi berkaca-kaca saat ia mempresentasikan hasil fotonya yang ia ambil di desanya, Kotapulu, Sigi, yang berjarak 30 menit dari Kota Palu. Ia mewawancarai seorang perempuan yang menikah pada usia 15 tahun karena himpitan ekonomi akibat gagal panen.
“Lahannya dijual karena kekeringan tidak bisa mengolah. Karena kasihan [dengan keluarganya], merasa dia [menjadi] beban [keluarga], [dia] memutuskan menikah. Mungkin dengan menikah bebannya berkurang sedikit,” ujar Dinda menceritakan kisah narasumber dalam foto tersebut.
Siti menikah pada usia 15 tahun, tepatnya saat duduk di kelas 2 SMP. Akibat pernikahannya, Siti terpaksa putus sekolah. Pernikahannya terjadi bukan karena keinginannya sendiri, melainkan karena keterpaksaan. Orang tua Siti menjodohkannya pada usia yang sangat muda untuk meringankan beban ekonomi keluarga. Mereka telah menjual tanah keluarga karena dampak krisis iklim yang melanda dan beralih profesi dari petani menjadi penjual binte biluhata (sup jagung). Foto dan narasi oleh: Faradiva Aulia Izmi
Narasi yang sama juga disampaikan oleh peserta lain dari Kabupaten Donggala, Dito. Ia mewawancarai temannya yang terpaksa menikah saat masih anak-anak karena orang tuanya tak mampu menghidupinya. Penghasilan orang tuanya sebagai buruh tani tak cukup akibat cuaca ekstrem yang menyebabkan gagal panen.
Praktik perkawinan usia anak ini hampir lumrah di dua daerah tersebut. Mereka menganggap, dengan menikahkan anaknya, masalah perekonomian menjadi selesai karena beban keluarga berkurang. Namun, kebanyakan impian ini jauh dari angan. Rantai kemiskinan justru makin memburuk dan membuat perempuan memiliki beban ganda: mencari kebutuhan ekonomi maupun mengurus rumah tangga.
Krisis iklim memperburuk akses air bersih
Foto dan kisah yang disajikan Faradiva dan Dito ini menunjukkan bagaimana krisis iklim menjadikan Keadilan Reproduksi semakin jauh dari kata ideal. Di sejumlah desa pesisir di Donggala, sekitar 2-3 jam dari Palu, para perempuan terancam keamanannya saat mengakses air bersih. Mereka kerap dilecehkan saat mandi di sungai atau mengambil air dari sumur.
Peserta Photovoice lainnya, Gilang, bertemu dengan seorang ibu yang sehari-hari harus berjibaku untuk mengakses air yang layak digunakan untuk urusan rumah tangga. Untuk menggunakan toilet umum, ia harus pergi ke sungai terlebih dahulu. Bahkan, akses air menjadi semakin sulit akibat banjir rob yang kerap menerjang desa tersebut.
Kondisi air di rumah tidak layak konsumsi karena warnanya keruh dan tercemar. Saya terkejut melihat kondisi bak penampungan air bersih yang dimaksud oleh Ibu Apriani, yang sangat kotor dan berlumpur. Di rumahnya, juga tidak ada WC sehingga untuk keperluan MCK (Mandi, Cuci dan Kakus), keluarga Ibu Apriani harus menggunakan WC umum yang letaknya tidak jauh dari rumah mereka (Foto dan narasi oleh: Alif Nurul Yaqin)
Bagi perempuan di desa tersebut, air yang tak layak menjadi masalah bagi kesehatan reproduksi mereka. Sejumlah perempuan mengeluh alami keputihan karena menggunakan air tersebut setiap harinya.
Beban berlipat
Krisis air yang diperparah karena krisis iklim menjadikan perempuan meminggul beban berlipat. Selain bertanggung jawab dengan urusan rumah tangga, seperti menjaga anak dan memasak, mereka juga turut bertanggung jawab dalam menyediakan air bagi keluarganya.
Di Kabupaten Donggala, perempuan harus pergi ke desa sebelah untuk memenuhi kebutuhan air keluarganya. Air di desanya tidak layak karena tercampur dengan air laut imbas dari banjir rob.
Menurut peraturan pemerintah setempat, semestinya tidak ada lagi orang yang tinggal di zona merah di Desa Tompe, Kecamatan Sirenja, Donggala, akibat gempa dan banjir rob. Namun, masih banyak warga yang tetap tinggal di zona merah karena dinilai lebih dekat dengan tempat mereka bekerja sebagai nelayan. Meski sebagian warga sudah berpindah ke hunian tetap (huntap), masih ada yang menetap di hunian sementara (huntar).
Keran itu seharusnya menjadi sumber kehidupan bagi setiap manusia. Namun, kenyataannya banyak yang mengabaikannya. Banyak dari warga yang tinggal di zona merah menghadapi masalah ketersediaan air bersih. Air yang berkarat. Banyak perempuan di Desa Tompe yang mengalami masalah keputihan. (Foto dan narasi oleh: Maydi Sogina)
Temuan ini baru dari dari segi visual dan dari kaca mata orang muda. Yayasan IPAS percaya imbas dari krisis iklim ini lebih banyak lagi. Kami terus berkomitmen mulai dari akar rumput hingga berkolaborasi dengan pemerintah daerah dan nasional untuk memperkuat sistem kesehatan reproduksi agar masyarakat lebih tangguh.