Mengangkat tema “Shifting Paradigm for Future Society and Community”, Asia-Pacific Academic Consortium on Public Health 2024 menggarisbawahi pentingnya revolusi dalam berbagai aspek di ranah kesehatan masyarakat. Konferensi tersebut diselenggarakan di Busan, Korea Selatan, pada 23-25 Oktober 2024.
Yayasan IPAS Indonesia berpartisipasi dalam konferensi tersebut untuk membagikan praktik baik dari proyek Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS), menyoroti bagaimana kolaborasi lintas sektor dapat menciptakan perubahan nyata dalam upaya pemenuhan hak korban KBGS. Dalam kesempatan itu, Advocacy and Policy Officer Yayasan IPAS Indonesia, Ignatia Glory, membagikan pembelajaran dari proyek DARE yang dilaksanakan di DKI Jakarta sepanjang 2021-2023.
Proyek DARE dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pemenuhan hak, terutama layanan kesehatan, bagi korban KBGS. Dalam proyek ini, Yayasan IPAS Indonesia berkolaborasi dengan pihak kepolisian, pemberi layanan kesehatan, pendamping korban KBGS, dan jaringan termasuk rekan-rekan wartawan.
Salah satu intervensi utama proyek DARE adalah pengembangan dan uji coba Standard Operating Procedure (SOP) penanganan kasus KBGS yang bekerja sama dengan Polda Metro Jaya (PMJ). Uji coba yang dilakukan di 13 Kepolisian Resor di bawah PMJ menunjukkan perbaikan signifikan dalam kecepatan rujukan ke fasilitas kesehatan. “Prosedur baru ini memungkinkan korban mendapatkan layanan dengan lebih cepat dan tepat sasaran,” ungkap Ignatia.
“Di akhir proyek DARE, kami melakukan evaluasi untuk melihat seberapa jauh dampak dari proyek dengan melibatkan pemangku kepentingan yang terlibat dalam proyek. Hasil dari evaluasi inilah yang saya sampaikan dalam konferensi ini,” ujar Igna.

Ia menambahkan, evaluasi proyek DARE menggunakan metode outcome harvesting. Metode ini meliputi proses identifikasi untuk memahami bagaimana hasil dari implementasi proyek itu apakah sesuai dengan tujuan dari intervensi. Data yang dianalisis menggunakan metode ini diperoleh dari diskusi terarah, wawancara mendalam, dan studi literatur.
“Perubahan yang paling signifikan dari proyek ini adalah perubahan prosedur penanganan KBGS yang dilakukan oleh kepolisian melalui SOP yang dikenalkan dalam proyek DARE ini. Dengan prosedur tersebut, layanan rujukan ke fasilitas kesehatan lebih cepat,” tegasnya.
Dari pembelajaran proyek ini, pihak kepolisian mendorong SOP yang diujicobakan itu bisa dijadikan dokumen yang bisa dilakukan dalam level nasional.
Selain itu, temuan dari evaluasi kami menunjukkan adanya perubahan signifikan dalam pengetahuan dan praktik dalam memberikan layanan kesehatan bagi korban kekerasan di beberapa rumah sakit yang menjadi mitra kepolisian daerah.
“Hal-hal itulah yang saya sampaikan dalam konferensi di Busan ini. Pesannya adalah aparat penegak hukum seperti instansi kepolisian menjadi salah satu kunci dalam mewujudkan lingkungan untuk mendukung pemenuhan hak-hak korban KBGS. Saya rasa itu penting untuk diadopsi dan dipelajari lebih lanjut bagi rekan-rekan peneliti dengan konteks dan setting yang berbeda,” pungkasnya.

Selain Ignatia, Sudirman Nasir juga mempresentasikan hasil riset Yayasan IPAS bekerja sama dengan Universitas Hasanuddin mengenai krisis iklim yg berjudul Intersectionality of climate induced disaster and sexual and reproductive health and rights issues in Central Sulawesi. Dalam presentasinya Sudirman menyoroti tentang dampak krisis iklim terhadap kesehatan seksual dan reproduksi khususnya bagi perempuan dan remaja perempuan.