Skip to content Skip to footer

DARE

DARE atau Decriminalization of Abortion for Rape (Dekriminalisasi Aborsi untuk Penyintas Perkosaan) adalah proyek untuk memperjuangkan hak dan akses layanan komprehensif bagi penyintas kekerasan seksual dan perkosaan, serta dekriminalisasi bagi penyintas dan penyedia layanan klinis yang menangani kasus perkosaan.

Penyintas kekerasan seksual berhak mendapatkan layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif berdasarkan Undang-Undang Kesehatan No.36/2009. Sayangnya, dalam kasus pemerkosaan yang mengarah pada penghentian kehamilan yang tidak diinginkan, penyintas yang mencari layanan kesehatan seksual dan reproduksi dan penyedia layanan klinis yang menangani sama-sama terancam tuntutan pidana.

Peraturan Pemerintah Indonesia No.61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan Keputusan Menteri Kesehatan (Kemenkes) No.3/2016 menjamin layanan aborsi elektif, memberikan pelatihan bagi penyedia layanan klinis, dan mengembangkan protokol aborsi aman untuk kasus pemerkosaan. Namun, temuan dari studi kebijakan yang dilakukan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Yayasan IPAS Indonesia menyoroti kesenjangan serius antara Undang-Undang Kesehatan dan pemberian layanan aborsi.

Saat ini tidak ada panduan dari pemerintah tentang implementasi undang-undang ini. Bahkan dalam beberapa kasus kebijakan pemerintah lainnya juga bertentangan dengan Undang-Undang Kesehatan. Hal ini membuat penegak hukum dan pembuat undang-undang tidak memiliki pemahaman yang jelas tentang legalitas aborsi bagi korban perkosaan.

Tujuan utama proyek DARE adalah untuk menciptakan lingkungan yang mendukung untuk dekriminalisasi aborsi aman bagi penyintas kekerasan seksual. Strategi yang dilakukan untuk mencapai tujuan utama tersebut antara lain:

  1. Menciptakan permintaan publik untuk pengembangan dan penyebaran pedoman nasional yang mendukung Undang-Undang Kesehatan dengan memperkuat aliansi dan gerakan masyarakat sipil (CSO) yang bergerak di isu HKSR. Kerja sama dengan kepolisian untuk mengadopsi SOP yang telah disempurnakan, menguji coba SOP, dan terlibat dalam advokasi lebih lanjut di lima kabupaten di Provinsi DKI Jakarta.
  2. Mempromosikan pesan-pesan untuk kesadaran publik, melakukan advokasi bersama dengan mitra CSO, dan menciptakan langkah-langkah keamanan untuk melindungi penyintas kekerasan seksual dan penyedia layanan melalui pembentukan dukungan hukum bila diperlukan.
  3. Mengklaim ruang sipil melalui dukungan dari mitra media dan aliansi di parlemen yang terlibat dalam proses pengembangan dan penyempurnaan SOP Kepolisian Nasional tentang kekerasan seksual yang akan memastikan akses dan layanan HKSR bagi penyintas kekerasan seksual, termasuk penghentian kehamilan akibat perkosaan.

Melalui strategi-strategi di atas, maka diharapkan dapat tercapai luaran sebagai berikut:

  1. Polri mengadopsi SOP/protokol yang disempurnakan untuk menangani kasus kekerasan seksual yang memungkinkan akses layanan HKSR yang komprehensif bagi korban pemerkosaan secara tepat waktu.
  2. Aliansi dan gerakan masyarakat sipil yang kuat untuk mengadvokasi pembentukan sistem dan mekanisme yang melindungi penyintas dan penyedia layanan.
  3. Gerakan untuk mengklaim ruang sipil oleh masyarakat sipil dan aliansi untuk dekriminalisasi aborsi aman bagi penyintas kekerasan seksual, serta didukung oleh mitra media.

Dalam pelaksanaan proyek ini, Yayasan IPAS bekerja bersama mitra kunci meliputi Kepolisian Daerah Provinsi DKI Jakarta, Organisasi Masyarakat Sipil (CSO) yang bekerja pada advokasi akses dan layanan HKSR, penyedia layanan klinis bagi penyintas kekerasan berbasis gender di RS Polri Kramat Jati Jakarta, Unit Forensik RS Cipto Mangunkusumo/RSCM, fasilitas kesehatan lainnya, serta media. Yayasan IPAS melibatkan mitra-mitra kunci tersebut untuk advokasi dan komunikasi pesan-pesan utama tentang perlindungan hak penyintas dalam mengakses layanan HKSR yang komprehensif.

Go to Top
EN ID