Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Seputar Konstitusi dan Regulasi Hak Kesehatan Reproduksi di Indonesia

Penulis: Yayasan IPAS Indonesia

Indonesia terus mengalami berbagai jatuh bangun terkait penegakan perlindungan hukum bagi perempuan. Hal ini terus terjadi karena instrumen hukum di Indonesia yang belum menjamin hak asasi yang melindungi perempuan secara menyeluruh, salah satunya terkait perlindungan akan hak kesehatan reproduksi. Salah satu contoh nyatanya adalah RUU PKS yang hingga kini belum kerap dirampungkan. Padahal jika menilik sejarahn, penekanan akan pentingnya perlindungan hukum terhadap perempuan merupakan hal yang esensial mengingat Indonesia telah mencantumkan pentingnya Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam undang-undang dasarnya, dimulai dalam Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi RIS, maupun Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

Pemikiran tentang HAM sejak awal pergerakan kemerdekaan hingga saat ini mendapat pengakuan dalam hukum positif. Hal tersebut dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berpuncak pada konstitusi sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia. Hak perempuan tentunya merupakan bagian penting di dalamnya karena sejarah perjuangan merebut kemerdekaan bangsa Indonesia juga sejalan dengan sejarah perjuangan perempuan Indonesia mendapatkan haknya. Sebagai contoh, adanya Kongres Perempuan Indonesia pertama yang juga merupakan bagian sejarah dari perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Setelah runtuhnya Orde baru, reformasi hukum dan politik juga semakin memungkinkan adanya amandemen. Hasil amandemen UUD 1945 juga memberikan kesempatan untuk lansekap hukum Indonesia agar semakin memperhatikan dan menjunjung nilai-nilai HAM yang mungkin kurang memperoleh perhatian dari pemerintah di periode-periode sebelumnya. Amandemen kedua bahkan telah menelurkan satu Bab khusus mengenai Hak Asasi Manusia yaitu Bab XA. Berbagai perubahan yang dihasilkan diantaranya adalah Undang‐Undang Nomor 7 tahun 1984, dimana pada pasal 2 konvensi tersebut juga mewajibkan kepada negara untuk membuat peraturan-peraturan yang tepat, serta mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap perempuan. Disamping itu, negara juga harus mencabut semua ketentuan pidana nasional yang diskriminatif terhadap perempuan. Di Pasal 12 juga disebutkan bahwa negara harus melakukan penghapusan diskriminasi di bidang pemeliharaan dan jaminan pelayanan kesehatan, termasuk didalmnya pelayanan Keluarga Berencana (KB). UU tersebut tentunya memberikan landasan hukum tentang kepastian perlindungan terhadap hak reproduksi perempuan untuk bebas menentukan jumlah dan jarak kelahiran anak yang ingin mereka miliki.

Lebih jauh lagi, hak atas kesehatan reproduksi juga dijamin dalam Pasal 49 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyebutkan bahwa: ”(2) Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita, (3) Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.”

Pada hakikatnya, hukum yang berlaku harus dapat terus diperbaiki dan beradaptasi sesuai dengan kehidupan masyarakat yang dinaunginya. Melihat semakin tingginya angka aborsi tidak aman dan kekerasan berbasis gender di Indonesia, tentu regulasi yang ada harus menyesuaikan dan terus berusaha untuk menjamin HAM warga negaranya, khususnya dalam hal ini perempuan yang terus menjadi korban atau pihak yang dirugikan. Amandemen yang berbasis data tentunya diperlukan dan kerjasama dari berbagai pihak untuk menghasilkan hukum yang positif harus terus digaungkan.

Leave a comment

Go to Top
EN ID